Saturday, August 6, 2011

MEMBANGUN SISTIM PERTANIAN BERMORAL

I Nyoman P. Aryantha


KPP Ilmu Hayati LPPM-ITB, Prodi Mikrobiologi - Dept. Biologi - FMIPA-ITB
Jalan Ganesha 10, Bandung 40132
Email : nyoman@bi.itb.ac.id

Abstrak

Sistim pertanian intensif disamping menghasilkan produk panenan yang meningkat namun telah terbukti pula menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan juga ligkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam sistim konvensional ini juga hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk memperbaiki sistim intensif ini dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan. Berbagai potensi alam dari aspek penyuburan tanah sampai pengendalian hama dan penyakit belum termanfaatkan secara optimal karena tidak giatnya penelitian dan pengembangan dari sisi ini. Udara yang sebagian besar komponennya adalah gas nitrogen dan dapat difiksasi oleh sekelompok mikroba sebagai biofertilizer masih belum termanfaatkan secara optimal. Fenomena interaksi langsung tanaman-mikroba dalam bentuk nodul dan mikoriza juga potensial untuk dikembangkan sebagai aspek penyuburan. Demikian juga bahan organik dari bagian tanaman itu sendiri masih belum termanfaatkan dengan baik dalam sistim budi daya berkelanjutan. Predator, antagonist dan pesaing alami hama, penyakit dan gulma tanamanpun belum terkelola dengan optimal sehingga pencemaran senyawa sida masih tinggi yang di satu sisi mengancam kehidupan komponen ekosistem lain yang semestinya berperan dalam daur nutrien bagi tanaman. Tanaman sendiri menghasilkan berbagai senyawa anti hama, penyakit dan gulma namun belum termanfaatkan secara optimal. Dengan optimalisasi dan memadukan potensi alam yang ada kita dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia namun tetap dapat menghasilkan panenan yang tinggi tanpa merusak lingkungan. Tentunya upaya terpadu ini harus dibarengi dengan perubahan sikap dari budaya instant ke budaya kesadaran jangka panjang.

Kata Kunci : Pertanian organik, pengendalian hayati, pertanian berkesinambungan
----------------------------------------------------------------------------------

Sinambungkah sistim pertanian modern?

Hubungan interaksi antar mahluk hidup telah terjadi sejak sistim kehidupan itu ada yang konon sekitar 3,5 milyar tahun yang silam. Koevolusi yang kompleks ini melahirkan suatu ekosistim yang seimbang dan dinamis. Sistim ini masih dapat kita amati di hutan-hutan primer dimana terjadi keseimbangan antar komponen-komponen ekosistem.

Teknologi pertanian modern (intensif) yang pada dasarnya merupakan sistim monokultur telah mengubah secara drastis ekosistem alami yang seimbang tadi menjadi sistem binaan yang tidak seimbang.

Karena tidak ada keseimbangan, mau tidak mau dipaksakanlah suatu cara untuk menjaga ekosistem binaan tersebut agar dapat berlangsung. Intervensi akhirnya dilakukan dengan memberikan berbagai senyawa kimia baik berupa bakterisida, fungisida, algisida, herbisida, akarisida, pestisida, nematisida maupun pupuk-pupuk kimia seperti urea, NPK, KCL, TSP dan sebagainya. Tanpa intervensi ini sistim pertanian monokultur tidak dapat berlangsung dan menghasilkan panenan seseuai yang diharapkan. Hal ini melahirkan dilema karena bahan kimia yang diaplikasikan ke alam sering kali terakumulasi di dalam tanah, air tanah dan bagian dari tanaman atau hewan dan akhirnya berdampak kepada manusia. Senyawa-senyawa 'sida' sering tidak selektif membunuh berbagai mahluk hidup termasuk yang bukan sasaran seperti predator hama yang akhirnya mengakibatkan ledakan hama sekunder. Resistensi hama dan penyakit juga muncul dari pemakaian senyawa sida yang tidak tepat.

Pada akhirnya, praktek pertanian intensif di satu sisi telah berakibat pada berkurangnya materi organik, tanah menjadi keras, kurangnya porositas tanah, rendahnya nilai tukar ion tanah, rendahnya daya ikat air, rendahnya populasi dan aktivitas mikroba, dan secara keseluruhan berakibat rendahnya tingkat kesuburan tanah (Stoate et al., 2001). Kondisi ini mengakibatkan terhambatnya proses serapan akar terhadap air dan hara yang terlarut sehingga keberadaan hara dalam jumlah rendah tidak dapat diambil oleh akar secara optimal. Dengan demikian perlu dosis pupuk yang lebih tinggi untuk memungkinkan akar dapat menyerap hara dalam jumlah yang cukup dari ketersediaan hara yang terdapat dalam tanah.

Pemakaian senyawa-senyawa 'sida' memperparah keadaan karena telah mengganggu keseimbangan biota tanah yang semestinya memegang peranan penting dalam melakukan berbagai daur nutrien dan energi di dalam tanah. Berbagai siklus yang penting bagi ketersediaan hara tanah bagi tanaman seperti siklus karbon, nitrogen, belerang, fosfor dan besi adalah dimainkan perannya oleh mikrobiota tanah. Kalau kehidupan mikrobiota sebagai salah satu komponen ekosistem terganggu, maka terganggu pula ekosistem secara keseluruhan. Keberadaan senyawa pencemar yang berasal dari senyawa sida telah terbukti mengganggu kehidupan mikrobiota tanah seperti dilaporkan oleh Suresh-Babu dan kawan-kawan dimana kadar lindane sebesar 0.5, 1.0, 1.5, dan 2.0 ppm telah mempengaruhi populasi kelompok autotrof Anabaena dan tingkat fotosintesisnya secara berarti (Suresh-Babu et al., 2001). Pemakaian herbisida quinclorac dan propanil dalam dosis yang direkomendasikan juga dilaporkan mempengaruhi 'oxygen photoevolution' dan aktivitas nitrogenase pada Cyanobacteria (Irisarri et al., 2001).

Akumulasi senyawa-senyawa kimia tidak saja terjadi di alam (tanah dan perairan) tetapi juga pada mahluk hidup itu sendiri baik hewan maupun tumbuhan. Sebagai contoh misalnya Johnstone et al. (1995) melaporkan adanya akumulasi senyawa organochlorine dan polychlorobiphenyl (PCB) yang sangat nyata pada burung-burung ‘Peregrines’ dan jaringan tubuh mangsanya. Akumulasi senyawa pestisida terbukti mengganggu sistim reproduksi hewan tersbut (Fry, 1995). Bahkan penurunan jumlah spesiespun terjadi secara drastis akibat pencemaran senyawa sida (Chevreuil et al. 1995). Terhadap ternak yang dimakan manusiapun terjadi akumulasi seperti unsur Cd yang berasal dari pupuk fosfat anoragnik pada organ hati dan ginjal (Olsson, et al,. 2001).

Akumulasi senyawa kimia dalam produk pertanian terutama sayuran dan buah-buahan merupakan isu utama para konsumen yang peduli terhadap kesehatan. Dalam sebuah investigasi yang dilakukan di Italia terhadap berbagai produk buah-buahan ditemukan paling sedikitnya 25 sampel yang terkontaminasi thiabendazole (TBZ) dan 27 terkontaminasi carbendazim (CBM) dari 83 sampel (Sannino, 1995). Hal yang sama terjadi di Belgia dimana hanya 31.3% sayur-sayuran terbebas dari kontaminasi pestisida sedangkan 49.1% terkontaminasi oleh senyawa residu kurang berbahaya dan 19.6% oleh residu yang berbahaya (Dejonckheere et al., 1996). Penelitian di Cina melaporkan paling sedikitnya 5 jenis senyawa organophosphate ditemukan pada berbagai produk makanan oleh Chen & Gao, (1993). Fenomena ini telah mengubah pandangan banyak orang dalam mengkonsumsi produk-produk yang menggunakan pestisida maupun pupuk kimia. Tuntutan konsumen terutama di negara-negara maju akan produk hotilkultura yang bebas pestisida (senyawa kimia) kini semakin marak. Sayangnya, kajian yang intensif akan residu kimia dalam produk-produk pertanian kita belum dilakukan. Kenyataan penolakan komoditi ekspor sayur-sayuran termasuk jamur dari negara kita oleh negara importir sering terjadi karena masalah kontaminasi bahan kimia.

Fenomena lingkaran setan, resistensi hama dan penyakit tanaman, yang tidak ada hentinya terjadi karena pemakaian senyawa-senyawa sida yang sering tidak tepat (Milus & Parsons, 1994). Di lingkungan pertanian kita sudah terjadi resistensi beberapa hama seperti Plutella xylostella dan Leiromiza. Fenomena ini memperburuk situasi karena para petani cenderung meningkatkan dosis pemakaian sehingga tingkat pencemaran dengan sendirinya semakin tinggi kecuali pestisidanya harus diganti dengan yang baru. Sementara untuk menghasilkan satu jenis pestisida baru biayanya sangat mahal, paling sedikitnya US$20 juta per satu jenis pestisida (James et al. 1993). Tentu akan berdampak kepada harga jual pestisida tersebut yang akan meningkatkan biaya produksi budi daya.

Di sisi lain, pencemaran akibat aktivitas pertanian juga sudah membawa dampak kerugian pada sektor lain yakni perikanan. Bulan Mei 2004 ini, wabah kematian ikan besar-besaran terjadi di teluk Jakarta. Dari data sementara, wabah ini terjadi karena fenomena “red tide”. Suatu fenomena ledakan populasi alga beracun yang meracuni ikan maupun kerang. Kasus red tide ini juga sudah sering dilaporkan di negara lain seperti beberapa negara bagian Amerika Serikat. Laporan beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya kadar senyawa nitrogen maupun fosfat yang tinggi dalam perairan adalah pemicu ledakan populasi alga beracun ini. Kedua senyawa kimia ini adalah merupakan limbah pertanian terutama dari pemakaian pupuk urea. Limbah pupuk Nitrogen bukan saja berdampak pada kematian ikan, namun juga sudah menjadi informasi ilmiah penyebab kasus “blue baby syndrome” yang dapat menyebabkan kematian bayi akibat meminum air tanah tercemar senyawa Nitrogen.

Keberhasilan senyawa kimia dalam menunjang sistim pertanian pada masa lampau memang pernah terjadi. Sebagai contoh, predikat swa-sembada pangan pernah kita raih di masa lampau. Bahkan surplus hasil pertanian sering kali kita alami yang akhirnya terpaksa dijual murah, dibakar atau dibuang karena tidak ada harganya. Sebuah pertanyaan yang sangat penting perlu kita renungkan. Seberapa lama keberhasilan tersebut dapat dipertahankan? Apakah keberhasilan tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang merupakan anugerah Sang Pencipta yang harus kita kelola secara berkesinambungan? Haruskah kita memproduksi hasil panenan yang berlimpah sampai mencapai surplus lalu dibuang karena harganya jatuh?

Sementara itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang telah melesukan aktivitas berbagai sektor pertanian kita karena ketergantungan petani akan pestisida dan pupuk kimia yang harganya tidak terjangkau lagi oleh petani. Sementara di satu sisi, 'budaya' masyasrakat petani kita sudah terbiasa dengan sistim 'instant' merupakan masalah tersendiri dalam menerapkan sistim pertanian berkelanjutan. Semua inginnya serba instant dimana tabur pupuk langsung hijau padinya dan semprot pestisida langsung mati hamanya. Tantangan besar kita hadapi dalam hal ini untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat petani kita. Untuk dapat mengarah ke sistim perbaikan, penulis mengajak para pembaca dan masyarakat luas supaya mengkaji kembali aspek-aspek yang dapat kita kembangkan dalam menyelamatkan ekosistem pertanian kita dan insyaAllah dapat diwariskan kepada generasi penerus kita, Amin!

Secara garis besar, ada dua aspek yang semestinya diintegrasikan dalam sistim budidaya tanaman berkelanjutan yakni (1) peningkatan kesuburan yang dilakukan dengan prioritas aplikasi bahan organik dan mikroba indigenous (2) pengendalian hama dan penyakit dengan praktek terpadu. Kedua aspek ini sangat menentukan bagi keberhasilan sistim pertanian yang berkesinambungan.

Peningkatan kesuburan tanah dengan prioritas organik dan mikroba indigenous

Fenomena dampak negatif intensifikasi pertanian terhadap ekosistem pertanian termasuk pengerasan tanah, kehilangan materi organik terjadi di mana-mana. Intensitas pemakaian pupuk-pupuk kimia telah terbukti meningkat dari waktu ke waktu. Dari sejak awal sistim Bimas diperkenalkan dosis pemupukan tanaman padi hanya sekitar 70 kg per hektar, namun dalam rentang waktu 25 tahun sudah terjadi peningkatan dosis pupuk 5-6 kali lipat. Kebutuhan pemupukan (urea, TSP, NPK dan KCL) untuk tanaman padi saat ini telah mencapai dosis total lebih dari 300 kg per hektar. Kenapa terjadi peningkatan dosis pemupukan yang begitu drastis? Apakah peningkatan dosis ini diiringi dengan peningkatan hasil panen yang berlipat pula, ternyata tidak. Lalu kenapa harus dilakukan pemupukan dengan dosis yang berlipat-lipat?

Pendekatan yang kurang komprehensif akan kesuburan tanah selama ini yakni hanya memfokuskan dari faktor kimianya saja telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas tanah dalam jangka panjang. Selain faktor kimia berupa unsur makro dan mikro yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, namun faktor biologis (biokimia) yang terutama dimainkan perannya oleh mikroba juga sangat penting. Berbagai senyawa organik yang dihasilkan oleh mikroba dalam proses dekomposisi berbagai limbah oraganik di alam berperan dalam memacu merangsang pertumbuhan, mempercepat proses perbungaan, meningkatkan proses biosintesis senyawa biokimia, menghambat patogen, bahkan juga meningkatkan produksi senyawa metabolit sekunder sebagai bahan baku obat, pestisida dan sebagainya.

Berbagai hormon pertumbuhan (growth hormone) seperti kelompok Auxin, Giberellin dan Sitokinin sebagian disinyalir dapat diproduksi oleh mikroba di dalam tanah yang selanjutnya dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Giberellin sendiri pada mulanya diisolasi dari fungi Giberella fujikuroi sementara berbagai jenis bakteri dalam medium pertumbuhan mampu memproduksi senyawa triptofan maupun indole yang kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai bahan prekursor hormon Indole Acetic Acid, Indole Butyric Acid, maupun Naphthelene Acetic Acid. Kajian dengan metoda KLT juga menunjukkan beberapa spesies bakteri tanah dapat menghasilkan hormon kinetin (unpublished data).

Mikroba tanah juga berperan penting dalam proses pelarutan mineral-mineral yang tadinya berada dalam bentuk senyawa kompleks menjadi bentuk ion, maupun garam-garam yang dapat diserap oleh akar. Sebagai contoh unsur fosfor dalam senyawa kompleks batuan akan terlarutkan oleh kelompok pelarut fosfat seingga menjadi tersedia bagi tanaman (Wild, 2001).

Sumber hara yang paling utama bagi pertumbuhan vegetatif tanaman adalah nitrogen. Produksi pupuk nitrogen dunia untuk tahun 1999/2000 menurut data World Bank telah mencapai lebih dari 80,000,000 ton (World Bank Technical Paper No. 309). Sementara kita menyadari keberadaan gas N2 di udara adalah sekitar 78%. Gas Nitrogen ini oleh sekelompok mikroba non -simbiotik seperti Azotobacter, Azomonas, Azotococcus, Beijerinckia, Derxia, Xanthobacter, Methylobacter, Methylococcus, Azospirillum, Arthrobacter, Citrobacter dapat difiksasi ke dalam tanah dan oleh mikroba nitrifikasi dan amonifikasi dapat diubah menjadi senyawa nitrogen yang tersedia bagi tanaman yakni nitrat dan garam amonium. Sementara bakteri simbiotik seperti Rhizobium, Bradyrhizobium, Azorhizobium yang berinteraksi spesifik dengan kelompok tanaman tertentu dengan membentuk nodul mampu memfiksasi nitrogen udara dan disumbangkan langsung kepada tanaman dalam simbiosa mutualistis. Kelompok lain seperti Cyanobacteria adalah kelompok pemfiksasi nitrogen yang juga bersimbiosa dengan tanaman seperti Azolla dapat hidup secara autotrof. Begitu besar potensi nitrogen di alam, walau tidak dapat diambil langsung oleh tanaman, namun banyak jenis mikroba yang dapat memfiksasinya lalu memindahkan ke tanah atau langsung mengasosiasikan dengan tanaman inang yang cocok (Madigan et al., 1997 & Richards, 1989).

Kelompok mikroba lain yang berasosiasi saling menguntungkan dengan tanaman adalah fungi mikorhiza. Asosiasi ini dapat saling menyumbangkan yakni berupa senyawa organik oleh tanaman ke fungi sementara akumulasi unsur hara seperti fosfor yang konsentrasinya rendah di tanah dapat dioptimalkan penyerapannya oleh keberadaan fungi. Potensi fungi mikorhiza sangat besar untuk tanaman kehutanan terutama untuk reklamasi atau penanaman kembali lahan-lahan kritis. Berbagai jenis fungi mikorhiza yang tergabung dalam kelompok ektomikorhiza seperti : Cortinarius, Amanita, Tricholoma, Boletus, Suillus, Russula, Lactarius, Rhizopogon, Scleroderma, Pisolithus, Telephora, maupun endomikorhiza seperti Endogone, Gigaspora, Acaulospora, Glomus, dan Schlerocystis (Rhicards, 1987).

Meskipun mikroba berperan positif dalam pertumbuhan tanaman, namun faktor senyawa organik adalah sangat penting harus tersedia di dalam tanah. Peran senyawa organik disamping sebagai sumber nutrien bagi mikroba, juga dapat menciptakan kondisi fisik dan biokimia tanah yang optimal bagi pertumbuhan. Keberadaan senyawa organik telah terbukti berkorelasi positif terhadap aktivitas enzim mikroba, terhadap daya ikat air, mencegah penguapan pada saat udara kering, meningkatkan daya tukar ion, dan memberikan pori yang cukup bagi proses biokimia dalam tanah.

Dalam upaya menyeimbangkan dan melestarikan ekosistem pertanian, menurut Prof. Higa dapat dicapai dengan menyeimbangkan mikroba heterotrof dan autotrof. Atas dasar keberadaan mikroba dalam tanah, Higa membagi ada 4 tipe tanah : (1) disease-inducing soil, (2) disease-suppressive soil, (3) zymogenic soil and (4) synthetic soil (Higa, 1988). Dengan ide dasar dari Higa, dapat dilakukan pengkondisian tanah pertanian dengan mengkombinasikan anatara mikroba penekan penyakit, mikroba lakto -aseto fermentatif dan mikroba pemfiksasi nitrogen. Masing-masing diharapkan dapat berperan sesuai sifatnya seperti penekan penyakit karena mampu menghasilkan senyawa antibiotik seperti kelompok Bacillus. Kelompok lakto-aseto fermentatif diharapkan dapat menghasilkan senyawa-senyawa organik yang merupakan prekursor sintesa senyawa lain. Demikian juga kelompok pemfiksasi nitrogen diharapkan dapat memfiksasi nitrogen udara, membawanya masuk ke dalam tanah yang selanjutnya dapat diubah menjadi senyawa nitrogen tersedia bagi tanaman.

Sebelum ditemukan pupuk-pupuk kimia seperti sekarang, nenek moyang kita telah mempraktekkan sistim pertanian yang bebas pencemaran. Catatan sejarah dalam Zend Avesta menunjukkan bahwa pemakaian materi organik (kompos dan mulsa) dalam sistim pertanian sudah dilakukan sejak 8000 tahun yang silam (Cutler & Hill, 1994). Penimbunan lahan dengan tanah subur bukan merupakan cara baru dalam memaksimalkan pertumbuhan tanaman budi daya (Corke & Rishbeth, 1981). Penerapan berbagai kotoran hewan sebagai sarana penyubur tanah juga sudah dipraktekkan sejak berabad-abad yang silam. Akan tetapi semua cara-cara yang dianggap konvensional dan kuno ini hampir lenyap begitu saja di kalangan petani semenjak diperkenalkannya pupuk dan senyawa sida kimia.

Berbagai materi organik dapat diaplikasikan dalam sistim pertanian yang pada dasarnya berupa limbah rumah tangga, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri makananan dan minuman dengan bahan baku organik. Materi-materi organik ini dapat diaplikaikan langsung atau difermentasikan terlebih dahulu. Masing-masing tentunya memiliki manfaat dan efek yang berbeda. Produk hasil fermentasi dapat diaplikasikan langsung ke tanaman karena sudah terjadi proses dekomposisi sempurna. Sedangkan pemakaian materi yang belum terfermentasi cenderung dengan dosis pemakaian yang rendah atau pengaplikasian dilakukan sebelum penanaman. Dengan demikian panas yang terjadi tidak mematikan tanaman.

Keuntungan pemakaian materi organik menurut Papavizas & Lumsden (1980) dan Campbell (1989) diantaranya : memperbaiki tekstur tanah, menyediakan nutrien dan dapat meningkatkan kesehatan tanaman, menekan perkecambahan spora, menyebabkan lisis pada sel mikroba pathogen, menon-aktifkan atau menghentikan pertumbuhan pathogen secara sementara dan permanen, menunjang aktivitas mikroba non-pathogen dalam menyediakan unsur hara dan senyawa perangsang tumbuh bagi tanaman. Peningkatan aktivitas mikroba non-pathogen termasuk mikroba antagonist akan membantu melindungi tanaman terhadap penyakit dari proses antibiosis dan mycoparasitisme. Sedangkan praktek pemulsaan sendiri dapat mengurangi penguapan disaat udara kering yang berarti dapat mempertahankan kelembaban serta meregulasi temperatur tanah dan juga dapat mengurangi aliran permukaan (run-off).

Pemakaian kotoran baik yang segar maupun yang sudah difermentasikan telah banyak dilaporkan berhasil untuk menunjang pertumbuhan dan mengendalikan penyakit tanaman. Sebagai contoh, kotoran ayam dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus dapat mengendalikan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytophthora. Dari hasil penelitian penulis, kotoran ayam dan sapi yang dikomposkan selama 5 minggu telah berhasil menyuburkan tanaman Lupinus albus sekaligus mengontrol penyakit busuk akar oleh Phytopthora cinnamomi (Aryantha et al, 1997, Aryantha, 1998, Aryantha et al, 2000). Keberhasilan ini berkorelasi positif dengan aktivitas mikroba dan populasi mikroba antagonist (aktinomiset dan bakteri penghasil endospora) dalam tanah. Keragaman jenis mikroba juga tampak paling tinggi pada tanah yang diberi perlakuan dengan kotoran ayam. Kotoran sapi segar juga ditemukan dapat mengendalikan keganasan nematoda (Shapiro et al., 1996).

Materi organik limbah rumah tangga yang difermentasikan telah terbukti berpotensi sebagai pupuk hayati sekaligus mencegah penyakit tanaman. Beberapa contoh keberhasil-an tersebut seperti yang dilaporkan oleh Bender et al., (1992) pada aplikasi tanaman alpukat. Ferment limbah rumah tangga juga dilaporkan efektif dalam menunjang pertumbuhan kacang Pisum sativum sekaligus mengendalikan penyakit busuk kaki yang disebabkan oleh jamur Mycosphaerella pinodes (Schuler et al., 1993). Hasil yang sama pada tanaman kacang-kacangan juga dilaporkan oleh Pyndji et al. (1997) terhadap penyakit yang disebabkan oleh Rhizoctonia, Pythium dan Fusarium.

Materi organik yang paling sederhana adalah tanah subur alami. Di Jawa Barat (Bandung) sudah umum dikenal bahwa tanah Lembang adalah tanah yang subur. Tanah ini diperjual-belikan untuk dipakai dalam penanaman berbagai tanaman hias. Praktek pemanfaatan tanah subur ini adalah termasuk sistim pertanian secara hayati yang sudah dilaporkan lebih dari 100 tahun yang lalu (Schneider, 1982). Disamping dapat menyuburkan tanaman tanah ini juga sudah banyak dilaporkan dapat menanggulangi dan mengendalikan berbagai penyakit akar sehingga tanah ini dikenal juga dengan istilah tanah supresif (berarti dapat menekan penyakit) (Campbell, 1989). Pemakaian tanah ini sangat cocok untuk memperbaiki hara karena tanah ini ternyata sangat kaya dengan materi organik.

Dari aspek mikroba, berbagai jenis mikroba secara alamiah berperan penting dalam menyuburkan tanaman dalam interasksinya berupa simbiosa nodul dan mikoriza maupun non simbiotik seperti pemfiksasi nitrogen Azotobacter. Contoh strain rhizobia (Sinorhizobium meliloti) telah terbukti efisien meningkatkan biomasa tanaman 'lettuce' meski tanpa pembentukan nodul (Galleguillos, et al., 2000).

Pengendalian penyakit dan hama tanaman dengan sistim terpadu

Pengendalian hayati dalam bidang hama dan penyakit tanaman sudah dirintis sejak lama. Beberapa aspek yang terkait dalam pengendalian sistim terpadu seperti penggunaan agen predator, antagonist, parasit, patogen, virus, pemakaian materi organik, penggunaan tanaman unggul, pembentukan tanaman resisten, imunisasi dengan penggunaan pathogen yang tidak ganas (hyphovirulent), penggunaan bahan kimia selektif, penggunaan senyawa sida bahan alam, pengaturan kondisi fisik seperti pengaturan pH, penanaman bergilir (rotasi) dan pengeringan (Koul et al., 2000; Chen et al., 2000; Raizada et al., 2001).

Banyak keberhasilan telah dicapai dalam dunia ‘pengendalian hayati’ ini baik dalam skala laboratorium, rumah kaca maupun dalam aplikasi di lapangan. Dari aspek pengendalian menggunakan agensia mikroba, berbagai isolat antagonist terutama bakteri, aktinomiset dan jamur telah teridentifikasi dan teruji potensinya. Jenis-jenis mikroba seperti Trichoderma hamatum, T. viride, T. koningi, Gliocladium virens, G. roseum, Penicillium janthinellum, Epicocum purpureum, Pythium nunn (jamur); Bacillus subtilis, B. polymixa, Pseudomonas fluorescens. P. cepacia, Agrobacterium radiobacter (bakteri) dan Streptomyces spp. (aktinomiset) adalah agensia pengendali penyakit tanaman yang tidak asing lagi dalam dunia ‘pengendalian hayati’.

Berbagai kajian sudah dilakukan pada jenis-jenis agen mikroba pengendali penyakit tanaman yang berpotensi. Sekedar ilustrasi, paling sedikitnya ada lebih dari 2000 artikel ilmiah yang telah dipublikasikan tentang fungi Trichoderma selama ini. Sudah tentu dengan topik-topik penelitian dengan berbagai aspek. Hasil penelitian penulis, dari ratusan isolat yang sudah ditapis secara in vitro setidaknya ada 10 isolat, diantaranya adalah Trichoderma sp., Gliocladium roseum dan G. penicillioides yang potensial mengendalikan penyakit busuk akar pada tanaman Lupinus albus dalam skala rumah kaca (Aryantha & Guest, 1995; 1996, 2000). Sementara dari kelompok bakteri, beberapa jenis Bacillus, Pseudomonas dan Aktinomiset juga sudah dikaji dan dikembangkan potensinya sebagai biofungisida untuk pengendalian penyakit busuk akar (Aryantha et al., 2001).

Beberapa contoh sukses dalam pertanian atau perkebunan dan nursery dengan pemakaian sistim organik sudah dilaporkan. Professor Hoitink bersama timnya sudah berhasil mengembangkan dan menerapkan sistim hortikultura organik menggunakan perca kulit batang pohon dan lumut gambut sebagai campuran pot dan tanah perkebunan sejak tahun 1970an (Hoitink et al., 1991). Penerapan sistim ini tidak hanya dapat menyuburkan tanaman tetapi terbukti juga dapat mencegah berbagai penyakit akar yang biasanya disebabkan oleh jamur Phytophthora, Pythium, Rhizoctonia dan Fusarium (Steinmetz & Schonbeck, 1994).

Dari aspek pengendalian hama dengan mikroba, beberapa jenis mikroba seperti Bacillus thuringiensis, Metharrhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces farinosus, Cordyceps cinensis, Aspergillus parasiticus, Entompohthora muscae dan sebagainya (Lomer, et al., 2001). Disamping bakteri dan jamur, pemanfaatan beberapa jenis virus termasuk diantaranya virus Helicoverpa armigera single-nucleocapsid nucleopolyhedrovirus (HearNPV) untuk pengendalian hama sudah banyak dibuktikan (Chen et al, 2000).

Biopestisida lain, termasuk penggunaan racun laba-laba yang selektif untuk serangga tertentu juga dilaporkan potensial sebagai anti hama (Wang et al., 2000). Penggunaan protein pengacau sistim hormon juvenil dilaporkan potensial sebagai biopestisda pada hama Heliotis virescens (Thomas et al, 1999). Penggunaan feromon, semacam senyawa pemikat untuk mengundang serangga datang ke suatu tempat yang selanjutnya dijebak dan dibunuh juga termasuk kedalam aspek pengendalian ramah lingkungan (Furlong & Pell, 1995). Bahkan dengan metode rekayasa, berbagai senyawa protein anti hama dapat diproduksi oleh tanaman sehingga pengembangan tanaman resisten semakin terbuka kemungkinannya (Kramer et al, 2000 dan Grisham, 2000), meskipun hal ini mesti dikaji lebih seksama dan hati-hati terutama untuk tanaman konsumsi.

Pengendalian gulmapun banyak dikaji dengan menggunakan agen-agen hayati terutama kelompok fungi karena memiliki spesifisitas yang tinggi. Sebagai contohnya, pengendalian gulma Sesbania exaltata dengan fungi Colletotrichum truncatum (Jackson, 1996) dan Striga hermonthica dengan fungi parasit fakultatif Fusarium nygamai (Sauerborn, 1996).

Kunci pokok penyakit tanaman terletak pada kesehatan tanaman yang utuh. Hampir sama analoginya dengan tubuh kita, kalau kondisi tubuh dapat dijaga kebugarannya maka segala penyakit akan menjauh dari kita. Dengan demikian pemeliharaan kesehatan dan kesuburan tanaman dengan memperhatikan aspek kesuburan dan kesehatan tanahnya merupakan hal yang paling penting dalam sistim pertanian.

Penutup

Dengan memperhatikan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari sistim pertanian konvensional, adalah 'urgent' untuk meninjau kembali praktek-praktek budidaya tanaman yang telah kita lakukan selama ini. Kaidah-kaidah biologi yang mendukung rantai daur ulang yang terjadi di alam antara produsen, konsumen dan pengurai harus dijaga keberlangsungannya. Praktek-praktek dalam penyediaan unsur hara dan pengendalian hama, gulma dan penyakit tanaman yang sinergis dengan kaidah biologi harus digalakkan dan dilibatkan secara proporsional. Dengan komitmen yang tinggi tidak melakukan perusakan terhadap ciptaan Sang Pencipta insyaAllah semua praktek tersebut akan dapat mengembalikan ekosistem kita dan mampu menopang kehidupan konsumen terutama manusia.

Daftar Pustaka

Aryantha, I.P. & D.I. Guest, 1995. Plating method incorporated with selective media as one step isolation of antagonists against P. cinnamomi Rands, 10th Biennial Australasian Plant Pathology Society Conference, Lincoln Univ., New Zealand, 28-30 August 1995.

Aryantha, I.P and D.I. Guest, 1996, Bokashi (EM made product) as biocontrol agent to suppress the growth of Phytophthora cinnamomi, Rands, Fifth Conference on Technology of Effective Microorganisms, Sara Buri, Thailand, 10-11 December, 1996.

Aryantha, I.P., R. Cross & D.I. Guest, 1997. Biocontrol of Phytophthora cinnamomi Rands, 11th Biennial Conference of Australasian Plant Pathology Society, Perth-Australia, 29 Sept.-2 Oct. 1997.

Aryantha, I.P., 1998, Saving the agricultural ecosystem by using microbes, Proceeding of National Seminar on Biological Challenge and Opportunity in Improving the National Economic Integrity, IUC Life Sciences of ITB, Bandung 30 of June-1st July 1998.

Aryantha, I.P., C. Hall, R. Cross & D.I. Guest, 1999. Management of Phytophthora cinnamomi Rands with phosphonate and manure's, 12th Biennial Conference of Australasian Plant Pathology Society, Canberra-Australia, 26 Sept. - 1 Oct. 1999.

Aryantha, I.P and D. Guest, 2000, Pengendalian fungi pathogen Phytophthora cinnamomi Rands dengan menggunakan mikroba antagonist, Seminar MIPA 2000, 13-14 November 2000, Kampus ITB, Bandung

Aryantha, I.P., R. Cross & D.I. Guest, 2000, Suppression of Phytophthora cinnamomi Rands in potting mixes amended with uncomposted and composted animal manure's, Phytopathology (J) 90 (7), 775-782.

Aryantha, I.P., D. P. Lestari & M. Gantina, 2001, Biofungicide from indigenous microbes for controlling root rot diseases, Patent of Indonesia (Filing date)

Bender, G.S.; W.L Casale and M. Rahimian, 1992, Use of worm-composted sludge as a soil amendment for avocados in Phytophthora-infested soil, Proc. of Second World Avocado Congress, p. 143. (Abstract).

Campbell, R., 1989, Biological control of microbial plant pathogens, Cambridge University Press, Melbourne-Sydney, pp : 41-65.

Chen X, Sun X, Hu Z, Li M, O'Reilly DR, Zuidema D, Vlak JM, 2000, Genetic engineering of Helicoverpa armigera single-nucleocapsid nucleopolyhedrovirus as an improved pesticide, J Invertebr Pathol, 76(2):140-6

Chen, J.S. and J.Q Gao, 1993, The Chinese total diet study in 1990. 1. Chemical contaminants, Journal of AOAC International, 76(6): 1193-1205.

Chevreuil, M.; A.M Carru; A. Chesterikoff; P. Boet; E. Tales and J. Allard, 1995, Contamination of fish from different areas of the river Seine (France) by organic (PCB and Pesticides) and metallic (Cd, Cr, Cu, Fe, Mn, Pb, and Zn) micropolutants, Science of the Total Environment, 162(1): 31-42.

Corke, A.T.K and J. Rishbeth, 1981, Use of microorganisms to control plant diseases, in Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980, H.D Burges (Ed.), Academic Press, San Fransisco, p. 717-736.

Cutler, H.G and R.A Hill, 1994, Natural fungicides and their delivery systems as alternatives to synthetics, in Biological contro of postharvest diseases theory and practice : C. L Wilson and M.E Wisniewski (Eds), CRC Press, Tokyo, p. 135-152.

Dejonckheere W.; W. Steurbaut; S. Drieghe; R. Verstraeten and H. Braeckman, 1996, Monitoring of pesticide residues in fresh vegetables, fruits, and other selected food items in Belgium, 1991-1993, Journal of AOAC International, 79(1): 97-110.

Fry, D.M., 1995, Reproductive effects in birds exposed to pesticides and industrial chemicals, Environmental Health Perspectives, 103(Suppl 7):165-171.

Furlong, M.J. & J.K. Pell, 1995, Field and laboratory evaluation of s sex pheromone trap for the autodissemination of fungal entomopathogen Zoophthora radicans (Entomophthorales) by the diamondback moth, Plutella xylostella (Lepidoptera : Yponomeutidae), Bulletin of Entomological Research, 85, 331-7.

Galleguillos C, Aguirre C, Miguel Barea J, Azcon R., 2000, Growth promoting effect of two Sinorhizobium meliloti strains (a wild type and its genetically modified derivative) on a non-legume plant species in specific interaction with two arbuscular mycorrhizal fungi. PLANT SCIENCE, 159 (1):57-63

Grisham J., 2000, Protein biopesticide may be next wave in pest control., Nat Biotechnol 18(6):595

Hoitink, H.A.J., Y. Inbar and M.J. Boehm, 1991, Status of compost-amended potting mixes naturally suppressive to soilborne disease of fluricultural crops, Plant Disease, 75 (9):869-873.

Irisarri P, Gonnet S, & Monza J., 2001, Cyanobacteria in Uruguayan rice fields: diversity, nitrogen fixing ability and tolerance to herbicides and combined nitrogen, J Biotechnol, 4;91(2-3):95-103

Jackson MA, Shasha BS, Schisler DA., 1996, Formulation of Colletotrichum truncatum Microsclerotia for Improved Biocontrol of the Weed Hemp Sesbania (Sesbania exaltata), Biol Control, 7(1):107-13

James, J.R.; B.G Tweedy and L.C Newby, 1993, Efforts by industry to improve the environmental safety of pesticides, Ann. Rev. of Phytopathol., 31:423-439.

Johnstone, R.M; G.S Court; A.C Fesser; D.M Bradley; L.W Oliphant and J. D MacNeil, 1996, Long-term trends and sources of organochlorine contamination in Canadian Tundra Peregrine falcons, Falco peregrinus tundrius, Environmental Pollution, 93(2): 109-120.

Koul O, Jain MP, Sharma VK., 2000, Growth inhibitory and antifeedant activity of extracts from Melia dubia to Spodoptera litura and Helicoverpa armigera larvae. Indian J Exp Biol, 38(1):63-8

Kramer KJ, Morgan TD, Throne JE, Dowell FE, Bailey M, Howard JA., 2000, Transgenic avidin maize is resistant to storage insect pests. Nat Biotechnol 18(6):670-4

Lomer CJ, Bateman RP, Johnson DL, Langewald J, Thomas M., 2001, Biological control of locusts and grasshoppers, Annu Rev Entomol, 46:667-702

Milus, E.A. and C.E Parsons, 1994, Evaluation of foliar fungicides for controlling Fusarium head blight of wheat, Plant Disease, 78(7): 697-699.

Olsson, I.M, Jonsson S, Oskarsson A., 2001, Cadmium and zinc in kidney, liver, muscle and mammary tissue from dairy cows in conventional and organic farming, J Environ Monit, 3(5):531-8

Papavizas, G.C. and R.D. Lumsden, 1980, Biological control of soilborne fungal propagules, Annu. Rev. Phytopathol., 18 : 389-413.

Pyndji, M.; G.S. Abawi and R. Buruchara, 1997, Use of green manures in suppressing root rot severity and damage to beans in Uganda, Phytopathology, 87 (6) : 80.

Raizada RB, Srivastava MK, Kaushal RA, Singh RP. , 2001, Azadirachtin, a neem biopesticide: subchronic toxicity assessment in rats., Food Chem Toxicol, 39 (5):477-83

Reganold JP, Glover JD, Andrews PK, Hinman HR, 2001, Sustainability of three apple production systems, Nature, 410 (6831):926-30

Sannino, A., 1995, Investigation into contamination of proccessed fruit products by carbendazim, methyl thiophanate and thiabendazole, Food Chemistry. 52(1):57-61.

Sauerborn J, Doumlrr I I, Abbasher A, Thomas H, Kroschel J., 1996, Electron Microscopic Analysis of the Penetration Process of Fusarium nygamai, a Hyperparasite of Striga hermonthica, Biol Control, 7 (1):53-9

Schneider, R.W. (Ed), 1982, Suppressive soils and plant disease, St. Paul, Minnes\ota: American Phytopathology Society.

Schuler, C.; J. Pinky; M. Nasir and Vogtmann, 1993, Effects of composted organic kitchen and garden waste on Mycosphaerella pinodes (Berk. et Blox) Vestergr., causal organism of foot rot on peas (Pisum sativum L.), Biological Agriculture and Horticulture, 9: 353-360.

Shapiro, D.I.; G.L Tylka and L.C. Lewis, 1996, Effects of fertilizers on virulence of Steinernema carpocasea, Applied Soil Ecology, 3(1) : 27-34

Steinmetz, J. and F. Schonbeck, 1994, Conifer bark as growth medium and carrier for Trichoderma harzianum and Gliocladium roseum to control Pythium ultimum on pea, Journal of Plant Diseases and Protection, 101 (2) : 200-211.

Stoate C, Boatman ND, Borralho RJ, Carvalho CR, de Snoo GR, Eden P, 2001, Ecological impacts of arable intensification in Europe, J Environ Manage, 63(4):337-65

Suresh Babu G, Hans RK, Singh J, Viswanathan PN, Joshi PC, 2001, Effect of lindane on the growth and metabolic activities of cyanobacteria, Ecotoxicol Environ Saf, 48(2):219-21)

Thomas BA, Church WB, Lane TR, Hammock BD., 1999, Homology model of juvenile hormone esterase from the crop pest, Heliothis virescens, Proteins, 1;34(2):184-96

Wang X, Connor M, Smith R, Maciejewski MW, Howden ME, Nicholson GM, Christie MJ, King GF., 2000, Discovery and characterization of a family of insecticidalneurotoxins with a rare vicinal disulfide bridge, Nat Struct Biol., 7(6):505-13

-------------------------------------
Makalah dibawakan dalam seminar sehari Diskusi Pupuk Nasional Menristek-BPPT, 6 Mei 2002, Jakarta.

No comments: