Saturday, August 6, 2011

The Influence of Gamma Irradiation for Electricity Generation by Xanthomonas sp. in Microbial Fuel Cell (MFC) System

I Nyoman P. Aryantha (1,2) and Ima Noor Puspitasari (1)


1Microbiology-Genetics-Cell Molecular Biology Division, School of Life Sciences and Technology
2Center for Life Sciences
Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132

Email : nyoman@sith.itb.ac.id

ABSTRACT

Microbial Fuel Cell (MFC) is an alternative bioenergy system to anticipate electricity energy crisis in the future. This system directly converts nitrogen feed into electricity using catalytic reaction of heterotrophic bacteria, Xanthomonas sp. The performance of this bacterium is tried to be improved through a mutation approach by gamma irradiation. The purpose of this research was to select the optimum gamma radiation dose for Xanthomonas sp. which can increase its electricity voltage generation in MFC system and to study changes in environmental factors that occurred in MFC system. Six doses of gamma radiation (0.1 - 0.6 KGy) were exposed to Xanthomonas sp. cell suspension in a physiological solution (NaCl 0.85%). The bacterial cells were then grown on agar plates for enumeration. The average amounts of survival colonies showed that the lowest radiation dose (0.1 KGy) resulted in the highest survival rate. The survival colonies from each dose were selected randomly into total 90 mutant candidates and grown in liquid glucose (2,3%)-urea (0,1%) medium. Mutant candidates were set up as anode component in a 300 mL “Zeclace” chamber and “Polyum” solution as cathode component in a 300 mL plastic chamber (Aryantha & Jamilah, 2009). The electrical voltage obtained by bacterial mutants after Gamma irradiation at 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5 and 0.6 KGy were: 1.298, 1.271, 1.318, 1.280, 1.172 and 1.293 V, respectively. These results are higher from the voltage obtained by the wild type isolate (1.147 V). Mutant isolate of 0.6 KGy was chosen since it produces the highest voltage and also it is the highest doses of irradiation which is expected to be more stable mutant than the lower dose mutants. Isolate with the highest value of voltage was chosen, then its DNA was extracted for RAPD. The profile of RAPD used 4 primer universal which showed 29 polymorphic bands, OP-A04 (7 polymorphic bands), OP-C09 (8 polymorphic bands), OP-G11 (4 polymorphic bands), OP-T20 (10 polymorphic bands). The continous measurement of MFC system was being done for 120 h. The maximum value (1.487 V; 1.487 Å; 2.211 Watt) was reached at the age of 17 h, which is higher than wild type (1.408 V; 1.408 Å; 1,982 Watt). Biomass and electricity generation were depleted constantly afterwards with the decreasion of pH. This result suggests that random mutation through Gamma irradiation can improve the bacterial potency in generating electricity through MFC system, which is showed by RAPD profile and high electricity power of the mutant.

Keywords : microbial fuel cells (MFC), gamma irradiation, radiation dose, Xanthomonas sp., RAPD, electrical voltage
-----------------
4th International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, 23-25 November 2010
 

Biogeochemistry of sediments I: microbial diversity and activity of sediments from three largest dam reservoirs (Saguling, Cirata, Jatiluhur) in West Java, Indonesia

I Nyoman P. Aryantha1,2, Siti Khodijah Chaerun1*, Rizkita Rachmi Esyanti1, Nurmi D.P. Pangesti2, Dewi Jumiarni1 and Koki Toyota3


1School of Life Sciences and Technology, Bandung Institute of Technology, Ganesa 10, Bandung 40132, West Java, Indonesia
2Centre for Life Sciences, Bandung Institute of Technology, Ganesa 10, Bandung 40132, West Java, Indonesia
3Graduate School of Bio-Applications and Systems Engineering, Tokyo University of Agriculture and Technology, Koganei, Tokyo 184-8588, Japan

*Corresponding author: S.K. Chaerun (email: skchaerun@sith.itb.ac.id; skchaerun@gmail.com)

Abstract

The microbial diversity and activity of sediments from Saguling, Cirata and Jatiluhur Dam Reservoirs were studied to provide a better understanding of their biogeochemical and agricultural significance to enable them as natural fertilizers and artificial soils. Microbial respiration analysis revealed that CO2 evolved during 5 days of incubation time. Microbial biomass C of Saguling was higher than that of Jatiluhur and Cirata. BIOLOG analysis showed that sediment of Saguling showed the highest AWCD (sigmoid Average Well Color Development) which represented the microbial metabolic abilities. DGGE analysis of amplified bacterial 16S rDNA genes revealed some common bands in sediment from the three dam reservoirs, suggesting the presence of the same species of bacteria. Measurement of cellulose activity showed that sediment from Saguling had the highest activity of cellulose. The highest dehydrogenase activity was observed in Cirata, indicating that sediments in Cirata had the greatest activity of the active microbial population. Enumeration of aerobic microorganisms based on the hydrolysis of fluorescein diacetate [3′,6′-diacetylfluorescein (FDA)] showed that sediments from three dam reservoirs contained abundant microorganisms. The highest number of aerobic bacteria was found in Saguling, whereas that of anaerobic bacteria was observed in Cirata. From a microbiological point of view, our present data suggest that sediments in the three largest dam reservoirs (Saguling, Cirata, Jatiluhur) have high composition and enzymatic activity of microorganisms, thus playing a key role in some processes such as organic matter transformation and nutrient cycling which are advantageous for plant and further establishing the biogeochemical and agricultural significance of sediment.
--------------------------------------------------------
2nd USM Penang Inernationl Post Graduate Convention, 18-20 June 2008

MEMBANGUN SISTIM PERTANIAN BERMORAL

I Nyoman P. Aryantha


KPP Ilmu Hayati LPPM-ITB, Prodi Mikrobiologi - Dept. Biologi - FMIPA-ITB
Jalan Ganesha 10, Bandung 40132
Email : nyoman@bi.itb.ac.id

Abstrak

Sistim pertanian intensif disamping menghasilkan produk panenan yang meningkat namun telah terbukti pula menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan juga ligkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam sistim konvensional ini juga hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk memperbaiki sistim intensif ini dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan. Berbagai potensi alam dari aspek penyuburan tanah sampai pengendalian hama dan penyakit belum termanfaatkan secara optimal karena tidak giatnya penelitian dan pengembangan dari sisi ini. Udara yang sebagian besar komponennya adalah gas nitrogen dan dapat difiksasi oleh sekelompok mikroba sebagai biofertilizer masih belum termanfaatkan secara optimal. Fenomena interaksi langsung tanaman-mikroba dalam bentuk nodul dan mikoriza juga potensial untuk dikembangkan sebagai aspek penyuburan. Demikian juga bahan organik dari bagian tanaman itu sendiri masih belum termanfaatkan dengan baik dalam sistim budi daya berkelanjutan. Predator, antagonist dan pesaing alami hama, penyakit dan gulma tanamanpun belum terkelola dengan optimal sehingga pencemaran senyawa sida masih tinggi yang di satu sisi mengancam kehidupan komponen ekosistem lain yang semestinya berperan dalam daur nutrien bagi tanaman. Tanaman sendiri menghasilkan berbagai senyawa anti hama, penyakit dan gulma namun belum termanfaatkan secara optimal. Dengan optimalisasi dan memadukan potensi alam yang ada kita dapat mengurangi pemakaian pupuk kimia namun tetap dapat menghasilkan panenan yang tinggi tanpa merusak lingkungan. Tentunya upaya terpadu ini harus dibarengi dengan perubahan sikap dari budaya instant ke budaya kesadaran jangka panjang.

Kata Kunci : Pertanian organik, pengendalian hayati, pertanian berkesinambungan
----------------------------------------------------------------------------------

Sinambungkah sistim pertanian modern?

Hubungan interaksi antar mahluk hidup telah terjadi sejak sistim kehidupan itu ada yang konon sekitar 3,5 milyar tahun yang silam. Koevolusi yang kompleks ini melahirkan suatu ekosistim yang seimbang dan dinamis. Sistim ini masih dapat kita amati di hutan-hutan primer dimana terjadi keseimbangan antar komponen-komponen ekosistem.

Teknologi pertanian modern (intensif) yang pada dasarnya merupakan sistim monokultur telah mengubah secara drastis ekosistem alami yang seimbang tadi menjadi sistem binaan yang tidak seimbang.

Karena tidak ada keseimbangan, mau tidak mau dipaksakanlah suatu cara untuk menjaga ekosistem binaan tersebut agar dapat berlangsung. Intervensi akhirnya dilakukan dengan memberikan berbagai senyawa kimia baik berupa bakterisida, fungisida, algisida, herbisida, akarisida, pestisida, nematisida maupun pupuk-pupuk kimia seperti urea, NPK, KCL, TSP dan sebagainya. Tanpa intervensi ini sistim pertanian monokultur tidak dapat berlangsung dan menghasilkan panenan seseuai yang diharapkan. Hal ini melahirkan dilema karena bahan kimia yang diaplikasikan ke alam sering kali terakumulasi di dalam tanah, air tanah dan bagian dari tanaman atau hewan dan akhirnya berdampak kepada manusia. Senyawa-senyawa 'sida' sering tidak selektif membunuh berbagai mahluk hidup termasuk yang bukan sasaran seperti predator hama yang akhirnya mengakibatkan ledakan hama sekunder. Resistensi hama dan penyakit juga muncul dari pemakaian senyawa sida yang tidak tepat.

Pada akhirnya, praktek pertanian intensif di satu sisi telah berakibat pada berkurangnya materi organik, tanah menjadi keras, kurangnya porositas tanah, rendahnya nilai tukar ion tanah, rendahnya daya ikat air, rendahnya populasi dan aktivitas mikroba, dan secara keseluruhan berakibat rendahnya tingkat kesuburan tanah (Stoate et al., 2001). Kondisi ini mengakibatkan terhambatnya proses serapan akar terhadap air dan hara yang terlarut sehingga keberadaan hara dalam jumlah rendah tidak dapat diambil oleh akar secara optimal. Dengan demikian perlu dosis pupuk yang lebih tinggi untuk memungkinkan akar dapat menyerap hara dalam jumlah yang cukup dari ketersediaan hara yang terdapat dalam tanah.

Pemakaian senyawa-senyawa 'sida' memperparah keadaan karena telah mengganggu keseimbangan biota tanah yang semestinya memegang peranan penting dalam melakukan berbagai daur nutrien dan energi di dalam tanah. Berbagai siklus yang penting bagi ketersediaan hara tanah bagi tanaman seperti siklus karbon, nitrogen, belerang, fosfor dan besi adalah dimainkan perannya oleh mikrobiota tanah. Kalau kehidupan mikrobiota sebagai salah satu komponen ekosistem terganggu, maka terganggu pula ekosistem secara keseluruhan. Keberadaan senyawa pencemar yang berasal dari senyawa sida telah terbukti mengganggu kehidupan mikrobiota tanah seperti dilaporkan oleh Suresh-Babu dan kawan-kawan dimana kadar lindane sebesar 0.5, 1.0, 1.5, dan 2.0 ppm telah mempengaruhi populasi kelompok autotrof Anabaena dan tingkat fotosintesisnya secara berarti (Suresh-Babu et al., 2001). Pemakaian herbisida quinclorac dan propanil dalam dosis yang direkomendasikan juga dilaporkan mempengaruhi 'oxygen photoevolution' dan aktivitas nitrogenase pada Cyanobacteria (Irisarri et al., 2001).

Akumulasi senyawa-senyawa kimia tidak saja terjadi di alam (tanah dan perairan) tetapi juga pada mahluk hidup itu sendiri baik hewan maupun tumbuhan. Sebagai contoh misalnya Johnstone et al. (1995) melaporkan adanya akumulasi senyawa organochlorine dan polychlorobiphenyl (PCB) yang sangat nyata pada burung-burung ‘Peregrines’ dan jaringan tubuh mangsanya. Akumulasi senyawa pestisida terbukti mengganggu sistim reproduksi hewan tersbut (Fry, 1995). Bahkan penurunan jumlah spesiespun terjadi secara drastis akibat pencemaran senyawa sida (Chevreuil et al. 1995). Terhadap ternak yang dimakan manusiapun terjadi akumulasi seperti unsur Cd yang berasal dari pupuk fosfat anoragnik pada organ hati dan ginjal (Olsson, et al,. 2001).

Akumulasi senyawa kimia dalam produk pertanian terutama sayuran dan buah-buahan merupakan isu utama para konsumen yang peduli terhadap kesehatan. Dalam sebuah investigasi yang dilakukan di Italia terhadap berbagai produk buah-buahan ditemukan paling sedikitnya 25 sampel yang terkontaminasi thiabendazole (TBZ) dan 27 terkontaminasi carbendazim (CBM) dari 83 sampel (Sannino, 1995). Hal yang sama terjadi di Belgia dimana hanya 31.3% sayur-sayuran terbebas dari kontaminasi pestisida sedangkan 49.1% terkontaminasi oleh senyawa residu kurang berbahaya dan 19.6% oleh residu yang berbahaya (Dejonckheere et al., 1996). Penelitian di Cina melaporkan paling sedikitnya 5 jenis senyawa organophosphate ditemukan pada berbagai produk makanan oleh Chen & Gao, (1993). Fenomena ini telah mengubah pandangan banyak orang dalam mengkonsumsi produk-produk yang menggunakan pestisida maupun pupuk kimia. Tuntutan konsumen terutama di negara-negara maju akan produk hotilkultura yang bebas pestisida (senyawa kimia) kini semakin marak. Sayangnya, kajian yang intensif akan residu kimia dalam produk-produk pertanian kita belum dilakukan. Kenyataan penolakan komoditi ekspor sayur-sayuran termasuk jamur dari negara kita oleh negara importir sering terjadi karena masalah kontaminasi bahan kimia.

Fenomena lingkaran setan, resistensi hama dan penyakit tanaman, yang tidak ada hentinya terjadi karena pemakaian senyawa-senyawa sida yang sering tidak tepat (Milus & Parsons, 1994). Di lingkungan pertanian kita sudah terjadi resistensi beberapa hama seperti Plutella xylostella dan Leiromiza. Fenomena ini memperburuk situasi karena para petani cenderung meningkatkan dosis pemakaian sehingga tingkat pencemaran dengan sendirinya semakin tinggi kecuali pestisidanya harus diganti dengan yang baru. Sementara untuk menghasilkan satu jenis pestisida baru biayanya sangat mahal, paling sedikitnya US$20 juta per satu jenis pestisida (James et al. 1993). Tentu akan berdampak kepada harga jual pestisida tersebut yang akan meningkatkan biaya produksi budi daya.

Di sisi lain, pencemaran akibat aktivitas pertanian juga sudah membawa dampak kerugian pada sektor lain yakni perikanan. Bulan Mei 2004 ini, wabah kematian ikan besar-besaran terjadi di teluk Jakarta. Dari data sementara, wabah ini terjadi karena fenomena “red tide”. Suatu fenomena ledakan populasi alga beracun yang meracuni ikan maupun kerang. Kasus red tide ini juga sudah sering dilaporkan di negara lain seperti beberapa negara bagian Amerika Serikat. Laporan beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya kadar senyawa nitrogen maupun fosfat yang tinggi dalam perairan adalah pemicu ledakan populasi alga beracun ini. Kedua senyawa kimia ini adalah merupakan limbah pertanian terutama dari pemakaian pupuk urea. Limbah pupuk Nitrogen bukan saja berdampak pada kematian ikan, namun juga sudah menjadi informasi ilmiah penyebab kasus “blue baby syndrome” yang dapat menyebabkan kematian bayi akibat meminum air tanah tercemar senyawa Nitrogen.

Keberhasilan senyawa kimia dalam menunjang sistim pertanian pada masa lampau memang pernah terjadi. Sebagai contoh, predikat swa-sembada pangan pernah kita raih di masa lampau. Bahkan surplus hasil pertanian sering kali kita alami yang akhirnya terpaksa dijual murah, dibakar atau dibuang karena tidak ada harganya. Sebuah pertanyaan yang sangat penting perlu kita renungkan. Seberapa lama keberhasilan tersebut dapat dipertahankan? Apakah keberhasilan tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang merupakan anugerah Sang Pencipta yang harus kita kelola secara berkesinambungan? Haruskah kita memproduksi hasil panenan yang berlimpah sampai mencapai surplus lalu dibuang karena harganya jatuh?

Sementara itu, krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti sekarang telah melesukan aktivitas berbagai sektor pertanian kita karena ketergantungan petani akan pestisida dan pupuk kimia yang harganya tidak terjangkau lagi oleh petani. Sementara di satu sisi, 'budaya' masyasrakat petani kita sudah terbiasa dengan sistim 'instant' merupakan masalah tersendiri dalam menerapkan sistim pertanian berkelanjutan. Semua inginnya serba instant dimana tabur pupuk langsung hijau padinya dan semprot pestisida langsung mati hamanya. Tantangan besar kita hadapi dalam hal ini untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat petani kita. Untuk dapat mengarah ke sistim perbaikan, penulis mengajak para pembaca dan masyarakat luas supaya mengkaji kembali aspek-aspek yang dapat kita kembangkan dalam menyelamatkan ekosistem pertanian kita dan insyaAllah dapat diwariskan kepada generasi penerus kita, Amin!

Secara garis besar, ada dua aspek yang semestinya diintegrasikan dalam sistim budidaya tanaman berkelanjutan yakni (1) peningkatan kesuburan yang dilakukan dengan prioritas aplikasi bahan organik dan mikroba indigenous (2) pengendalian hama dan penyakit dengan praktek terpadu. Kedua aspek ini sangat menentukan bagi keberhasilan sistim pertanian yang berkesinambungan.

Peningkatan kesuburan tanah dengan prioritas organik dan mikroba indigenous

Fenomena dampak negatif intensifikasi pertanian terhadap ekosistem pertanian termasuk pengerasan tanah, kehilangan materi organik terjadi di mana-mana. Intensitas pemakaian pupuk-pupuk kimia telah terbukti meningkat dari waktu ke waktu. Dari sejak awal sistim Bimas diperkenalkan dosis pemupukan tanaman padi hanya sekitar 70 kg per hektar, namun dalam rentang waktu 25 tahun sudah terjadi peningkatan dosis pupuk 5-6 kali lipat. Kebutuhan pemupukan (urea, TSP, NPK dan KCL) untuk tanaman padi saat ini telah mencapai dosis total lebih dari 300 kg per hektar. Kenapa terjadi peningkatan dosis pemupukan yang begitu drastis? Apakah peningkatan dosis ini diiringi dengan peningkatan hasil panen yang berlipat pula, ternyata tidak. Lalu kenapa harus dilakukan pemupukan dengan dosis yang berlipat-lipat?

Pendekatan yang kurang komprehensif akan kesuburan tanah selama ini yakni hanya memfokuskan dari faktor kimianya saja telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas tanah dalam jangka panjang. Selain faktor kimia berupa unsur makro dan mikro yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, namun faktor biologis (biokimia) yang terutama dimainkan perannya oleh mikroba juga sangat penting. Berbagai senyawa organik yang dihasilkan oleh mikroba dalam proses dekomposisi berbagai limbah oraganik di alam berperan dalam memacu merangsang pertumbuhan, mempercepat proses perbungaan, meningkatkan proses biosintesis senyawa biokimia, menghambat patogen, bahkan juga meningkatkan produksi senyawa metabolit sekunder sebagai bahan baku obat, pestisida dan sebagainya.

Berbagai hormon pertumbuhan (growth hormone) seperti kelompok Auxin, Giberellin dan Sitokinin sebagian disinyalir dapat diproduksi oleh mikroba di dalam tanah yang selanjutnya dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Giberellin sendiri pada mulanya diisolasi dari fungi Giberella fujikuroi sementara berbagai jenis bakteri dalam medium pertumbuhan mampu memproduksi senyawa triptofan maupun indole yang kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai bahan prekursor hormon Indole Acetic Acid, Indole Butyric Acid, maupun Naphthelene Acetic Acid. Kajian dengan metoda KLT juga menunjukkan beberapa spesies bakteri tanah dapat menghasilkan hormon kinetin (unpublished data).

Mikroba tanah juga berperan penting dalam proses pelarutan mineral-mineral yang tadinya berada dalam bentuk senyawa kompleks menjadi bentuk ion, maupun garam-garam yang dapat diserap oleh akar. Sebagai contoh unsur fosfor dalam senyawa kompleks batuan akan terlarutkan oleh kelompok pelarut fosfat seingga menjadi tersedia bagi tanaman (Wild, 2001).

Sumber hara yang paling utama bagi pertumbuhan vegetatif tanaman adalah nitrogen. Produksi pupuk nitrogen dunia untuk tahun 1999/2000 menurut data World Bank telah mencapai lebih dari 80,000,000 ton (World Bank Technical Paper No. 309). Sementara kita menyadari keberadaan gas N2 di udara adalah sekitar 78%. Gas Nitrogen ini oleh sekelompok mikroba non -simbiotik seperti Azotobacter, Azomonas, Azotococcus, Beijerinckia, Derxia, Xanthobacter, Methylobacter, Methylococcus, Azospirillum, Arthrobacter, Citrobacter dapat difiksasi ke dalam tanah dan oleh mikroba nitrifikasi dan amonifikasi dapat diubah menjadi senyawa nitrogen yang tersedia bagi tanaman yakni nitrat dan garam amonium. Sementara bakteri simbiotik seperti Rhizobium, Bradyrhizobium, Azorhizobium yang berinteraksi spesifik dengan kelompok tanaman tertentu dengan membentuk nodul mampu memfiksasi nitrogen udara dan disumbangkan langsung kepada tanaman dalam simbiosa mutualistis. Kelompok lain seperti Cyanobacteria adalah kelompok pemfiksasi nitrogen yang juga bersimbiosa dengan tanaman seperti Azolla dapat hidup secara autotrof. Begitu besar potensi nitrogen di alam, walau tidak dapat diambil langsung oleh tanaman, namun banyak jenis mikroba yang dapat memfiksasinya lalu memindahkan ke tanah atau langsung mengasosiasikan dengan tanaman inang yang cocok (Madigan et al., 1997 & Richards, 1989).

Kelompok mikroba lain yang berasosiasi saling menguntungkan dengan tanaman adalah fungi mikorhiza. Asosiasi ini dapat saling menyumbangkan yakni berupa senyawa organik oleh tanaman ke fungi sementara akumulasi unsur hara seperti fosfor yang konsentrasinya rendah di tanah dapat dioptimalkan penyerapannya oleh keberadaan fungi. Potensi fungi mikorhiza sangat besar untuk tanaman kehutanan terutama untuk reklamasi atau penanaman kembali lahan-lahan kritis. Berbagai jenis fungi mikorhiza yang tergabung dalam kelompok ektomikorhiza seperti : Cortinarius, Amanita, Tricholoma, Boletus, Suillus, Russula, Lactarius, Rhizopogon, Scleroderma, Pisolithus, Telephora, maupun endomikorhiza seperti Endogone, Gigaspora, Acaulospora, Glomus, dan Schlerocystis (Rhicards, 1987).

Meskipun mikroba berperan positif dalam pertumbuhan tanaman, namun faktor senyawa organik adalah sangat penting harus tersedia di dalam tanah. Peran senyawa organik disamping sebagai sumber nutrien bagi mikroba, juga dapat menciptakan kondisi fisik dan biokimia tanah yang optimal bagi pertumbuhan. Keberadaan senyawa organik telah terbukti berkorelasi positif terhadap aktivitas enzim mikroba, terhadap daya ikat air, mencegah penguapan pada saat udara kering, meningkatkan daya tukar ion, dan memberikan pori yang cukup bagi proses biokimia dalam tanah.

Dalam upaya menyeimbangkan dan melestarikan ekosistem pertanian, menurut Prof. Higa dapat dicapai dengan menyeimbangkan mikroba heterotrof dan autotrof. Atas dasar keberadaan mikroba dalam tanah, Higa membagi ada 4 tipe tanah : (1) disease-inducing soil, (2) disease-suppressive soil, (3) zymogenic soil and (4) synthetic soil (Higa, 1988). Dengan ide dasar dari Higa, dapat dilakukan pengkondisian tanah pertanian dengan mengkombinasikan anatara mikroba penekan penyakit, mikroba lakto -aseto fermentatif dan mikroba pemfiksasi nitrogen. Masing-masing diharapkan dapat berperan sesuai sifatnya seperti penekan penyakit karena mampu menghasilkan senyawa antibiotik seperti kelompok Bacillus. Kelompok lakto-aseto fermentatif diharapkan dapat menghasilkan senyawa-senyawa organik yang merupakan prekursor sintesa senyawa lain. Demikian juga kelompok pemfiksasi nitrogen diharapkan dapat memfiksasi nitrogen udara, membawanya masuk ke dalam tanah yang selanjutnya dapat diubah menjadi senyawa nitrogen tersedia bagi tanaman.

Sebelum ditemukan pupuk-pupuk kimia seperti sekarang, nenek moyang kita telah mempraktekkan sistim pertanian yang bebas pencemaran. Catatan sejarah dalam Zend Avesta menunjukkan bahwa pemakaian materi organik (kompos dan mulsa) dalam sistim pertanian sudah dilakukan sejak 8000 tahun yang silam (Cutler & Hill, 1994). Penimbunan lahan dengan tanah subur bukan merupakan cara baru dalam memaksimalkan pertumbuhan tanaman budi daya (Corke & Rishbeth, 1981). Penerapan berbagai kotoran hewan sebagai sarana penyubur tanah juga sudah dipraktekkan sejak berabad-abad yang silam. Akan tetapi semua cara-cara yang dianggap konvensional dan kuno ini hampir lenyap begitu saja di kalangan petani semenjak diperkenalkannya pupuk dan senyawa sida kimia.

Berbagai materi organik dapat diaplikasikan dalam sistim pertanian yang pada dasarnya berupa limbah rumah tangga, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri makananan dan minuman dengan bahan baku organik. Materi-materi organik ini dapat diaplikaikan langsung atau difermentasikan terlebih dahulu. Masing-masing tentunya memiliki manfaat dan efek yang berbeda. Produk hasil fermentasi dapat diaplikasikan langsung ke tanaman karena sudah terjadi proses dekomposisi sempurna. Sedangkan pemakaian materi yang belum terfermentasi cenderung dengan dosis pemakaian yang rendah atau pengaplikasian dilakukan sebelum penanaman. Dengan demikian panas yang terjadi tidak mematikan tanaman.

Keuntungan pemakaian materi organik menurut Papavizas & Lumsden (1980) dan Campbell (1989) diantaranya : memperbaiki tekstur tanah, menyediakan nutrien dan dapat meningkatkan kesehatan tanaman, menekan perkecambahan spora, menyebabkan lisis pada sel mikroba pathogen, menon-aktifkan atau menghentikan pertumbuhan pathogen secara sementara dan permanen, menunjang aktivitas mikroba non-pathogen dalam menyediakan unsur hara dan senyawa perangsang tumbuh bagi tanaman. Peningkatan aktivitas mikroba non-pathogen termasuk mikroba antagonist akan membantu melindungi tanaman terhadap penyakit dari proses antibiosis dan mycoparasitisme. Sedangkan praktek pemulsaan sendiri dapat mengurangi penguapan disaat udara kering yang berarti dapat mempertahankan kelembaban serta meregulasi temperatur tanah dan juga dapat mengurangi aliran permukaan (run-off).

Pemakaian kotoran baik yang segar maupun yang sudah difermentasikan telah banyak dilaporkan berhasil untuk menunjang pertumbuhan dan mengendalikan penyakit tanaman. Sebagai contoh, kotoran ayam dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus dapat mengendalikan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytophthora. Dari hasil penelitian penulis, kotoran ayam dan sapi yang dikomposkan selama 5 minggu telah berhasil menyuburkan tanaman Lupinus albus sekaligus mengontrol penyakit busuk akar oleh Phytopthora cinnamomi (Aryantha et al, 1997, Aryantha, 1998, Aryantha et al, 2000). Keberhasilan ini berkorelasi positif dengan aktivitas mikroba dan populasi mikroba antagonist (aktinomiset dan bakteri penghasil endospora) dalam tanah. Keragaman jenis mikroba juga tampak paling tinggi pada tanah yang diberi perlakuan dengan kotoran ayam. Kotoran sapi segar juga ditemukan dapat mengendalikan keganasan nematoda (Shapiro et al., 1996).

Materi organik limbah rumah tangga yang difermentasikan telah terbukti berpotensi sebagai pupuk hayati sekaligus mencegah penyakit tanaman. Beberapa contoh keberhasil-an tersebut seperti yang dilaporkan oleh Bender et al., (1992) pada aplikasi tanaman alpukat. Ferment limbah rumah tangga juga dilaporkan efektif dalam menunjang pertumbuhan kacang Pisum sativum sekaligus mengendalikan penyakit busuk kaki yang disebabkan oleh jamur Mycosphaerella pinodes (Schuler et al., 1993). Hasil yang sama pada tanaman kacang-kacangan juga dilaporkan oleh Pyndji et al. (1997) terhadap penyakit yang disebabkan oleh Rhizoctonia, Pythium dan Fusarium.

Materi organik yang paling sederhana adalah tanah subur alami. Di Jawa Barat (Bandung) sudah umum dikenal bahwa tanah Lembang adalah tanah yang subur. Tanah ini diperjual-belikan untuk dipakai dalam penanaman berbagai tanaman hias. Praktek pemanfaatan tanah subur ini adalah termasuk sistim pertanian secara hayati yang sudah dilaporkan lebih dari 100 tahun yang lalu (Schneider, 1982). Disamping dapat menyuburkan tanaman tanah ini juga sudah banyak dilaporkan dapat menanggulangi dan mengendalikan berbagai penyakit akar sehingga tanah ini dikenal juga dengan istilah tanah supresif (berarti dapat menekan penyakit) (Campbell, 1989). Pemakaian tanah ini sangat cocok untuk memperbaiki hara karena tanah ini ternyata sangat kaya dengan materi organik.

Dari aspek mikroba, berbagai jenis mikroba secara alamiah berperan penting dalam menyuburkan tanaman dalam interasksinya berupa simbiosa nodul dan mikoriza maupun non simbiotik seperti pemfiksasi nitrogen Azotobacter. Contoh strain rhizobia (Sinorhizobium meliloti) telah terbukti efisien meningkatkan biomasa tanaman 'lettuce' meski tanpa pembentukan nodul (Galleguillos, et al., 2000).

Pengendalian penyakit dan hama tanaman dengan sistim terpadu

Pengendalian hayati dalam bidang hama dan penyakit tanaman sudah dirintis sejak lama. Beberapa aspek yang terkait dalam pengendalian sistim terpadu seperti penggunaan agen predator, antagonist, parasit, patogen, virus, pemakaian materi organik, penggunaan tanaman unggul, pembentukan tanaman resisten, imunisasi dengan penggunaan pathogen yang tidak ganas (hyphovirulent), penggunaan bahan kimia selektif, penggunaan senyawa sida bahan alam, pengaturan kondisi fisik seperti pengaturan pH, penanaman bergilir (rotasi) dan pengeringan (Koul et al., 2000; Chen et al., 2000; Raizada et al., 2001).

Banyak keberhasilan telah dicapai dalam dunia ‘pengendalian hayati’ ini baik dalam skala laboratorium, rumah kaca maupun dalam aplikasi di lapangan. Dari aspek pengendalian menggunakan agensia mikroba, berbagai isolat antagonist terutama bakteri, aktinomiset dan jamur telah teridentifikasi dan teruji potensinya. Jenis-jenis mikroba seperti Trichoderma hamatum, T. viride, T. koningi, Gliocladium virens, G. roseum, Penicillium janthinellum, Epicocum purpureum, Pythium nunn (jamur); Bacillus subtilis, B. polymixa, Pseudomonas fluorescens. P. cepacia, Agrobacterium radiobacter (bakteri) dan Streptomyces spp. (aktinomiset) adalah agensia pengendali penyakit tanaman yang tidak asing lagi dalam dunia ‘pengendalian hayati’.

Berbagai kajian sudah dilakukan pada jenis-jenis agen mikroba pengendali penyakit tanaman yang berpotensi. Sekedar ilustrasi, paling sedikitnya ada lebih dari 2000 artikel ilmiah yang telah dipublikasikan tentang fungi Trichoderma selama ini. Sudah tentu dengan topik-topik penelitian dengan berbagai aspek. Hasil penelitian penulis, dari ratusan isolat yang sudah ditapis secara in vitro setidaknya ada 10 isolat, diantaranya adalah Trichoderma sp., Gliocladium roseum dan G. penicillioides yang potensial mengendalikan penyakit busuk akar pada tanaman Lupinus albus dalam skala rumah kaca (Aryantha & Guest, 1995; 1996, 2000). Sementara dari kelompok bakteri, beberapa jenis Bacillus, Pseudomonas dan Aktinomiset juga sudah dikaji dan dikembangkan potensinya sebagai biofungisida untuk pengendalian penyakit busuk akar (Aryantha et al., 2001).

Beberapa contoh sukses dalam pertanian atau perkebunan dan nursery dengan pemakaian sistim organik sudah dilaporkan. Professor Hoitink bersama timnya sudah berhasil mengembangkan dan menerapkan sistim hortikultura organik menggunakan perca kulit batang pohon dan lumut gambut sebagai campuran pot dan tanah perkebunan sejak tahun 1970an (Hoitink et al., 1991). Penerapan sistim ini tidak hanya dapat menyuburkan tanaman tetapi terbukti juga dapat mencegah berbagai penyakit akar yang biasanya disebabkan oleh jamur Phytophthora, Pythium, Rhizoctonia dan Fusarium (Steinmetz & Schonbeck, 1994).

Dari aspek pengendalian hama dengan mikroba, beberapa jenis mikroba seperti Bacillus thuringiensis, Metharrhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces farinosus, Cordyceps cinensis, Aspergillus parasiticus, Entompohthora muscae dan sebagainya (Lomer, et al., 2001). Disamping bakteri dan jamur, pemanfaatan beberapa jenis virus termasuk diantaranya virus Helicoverpa armigera single-nucleocapsid nucleopolyhedrovirus (HearNPV) untuk pengendalian hama sudah banyak dibuktikan (Chen et al, 2000).

Biopestisida lain, termasuk penggunaan racun laba-laba yang selektif untuk serangga tertentu juga dilaporkan potensial sebagai anti hama (Wang et al., 2000). Penggunaan protein pengacau sistim hormon juvenil dilaporkan potensial sebagai biopestisda pada hama Heliotis virescens (Thomas et al, 1999). Penggunaan feromon, semacam senyawa pemikat untuk mengundang serangga datang ke suatu tempat yang selanjutnya dijebak dan dibunuh juga termasuk kedalam aspek pengendalian ramah lingkungan (Furlong & Pell, 1995). Bahkan dengan metode rekayasa, berbagai senyawa protein anti hama dapat diproduksi oleh tanaman sehingga pengembangan tanaman resisten semakin terbuka kemungkinannya (Kramer et al, 2000 dan Grisham, 2000), meskipun hal ini mesti dikaji lebih seksama dan hati-hati terutama untuk tanaman konsumsi.

Pengendalian gulmapun banyak dikaji dengan menggunakan agen-agen hayati terutama kelompok fungi karena memiliki spesifisitas yang tinggi. Sebagai contohnya, pengendalian gulma Sesbania exaltata dengan fungi Colletotrichum truncatum (Jackson, 1996) dan Striga hermonthica dengan fungi parasit fakultatif Fusarium nygamai (Sauerborn, 1996).

Kunci pokok penyakit tanaman terletak pada kesehatan tanaman yang utuh. Hampir sama analoginya dengan tubuh kita, kalau kondisi tubuh dapat dijaga kebugarannya maka segala penyakit akan menjauh dari kita. Dengan demikian pemeliharaan kesehatan dan kesuburan tanaman dengan memperhatikan aspek kesuburan dan kesehatan tanahnya merupakan hal yang paling penting dalam sistim pertanian.

Penutup

Dengan memperhatikan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari sistim pertanian konvensional, adalah 'urgent' untuk meninjau kembali praktek-praktek budidaya tanaman yang telah kita lakukan selama ini. Kaidah-kaidah biologi yang mendukung rantai daur ulang yang terjadi di alam antara produsen, konsumen dan pengurai harus dijaga keberlangsungannya. Praktek-praktek dalam penyediaan unsur hara dan pengendalian hama, gulma dan penyakit tanaman yang sinergis dengan kaidah biologi harus digalakkan dan dilibatkan secara proporsional. Dengan komitmen yang tinggi tidak melakukan perusakan terhadap ciptaan Sang Pencipta insyaAllah semua praktek tersebut akan dapat mengembalikan ekosistem kita dan mampu menopang kehidupan konsumen terutama manusia.

Daftar Pustaka

Aryantha, I.P. & D.I. Guest, 1995. Plating method incorporated with selective media as one step isolation of antagonists against P. cinnamomi Rands, 10th Biennial Australasian Plant Pathology Society Conference, Lincoln Univ., New Zealand, 28-30 August 1995.

Aryantha, I.P and D.I. Guest, 1996, Bokashi (EM made product) as biocontrol agent to suppress the growth of Phytophthora cinnamomi, Rands, Fifth Conference on Technology of Effective Microorganisms, Sara Buri, Thailand, 10-11 December, 1996.

Aryantha, I.P., R. Cross & D.I. Guest, 1997. Biocontrol of Phytophthora cinnamomi Rands, 11th Biennial Conference of Australasian Plant Pathology Society, Perth-Australia, 29 Sept.-2 Oct. 1997.

Aryantha, I.P., 1998, Saving the agricultural ecosystem by using microbes, Proceeding of National Seminar on Biological Challenge and Opportunity in Improving the National Economic Integrity, IUC Life Sciences of ITB, Bandung 30 of June-1st July 1998.

Aryantha, I.P., C. Hall, R. Cross & D.I. Guest, 1999. Management of Phytophthora cinnamomi Rands with phosphonate and manure's, 12th Biennial Conference of Australasian Plant Pathology Society, Canberra-Australia, 26 Sept. - 1 Oct. 1999.

Aryantha, I.P and D. Guest, 2000, Pengendalian fungi pathogen Phytophthora cinnamomi Rands dengan menggunakan mikroba antagonist, Seminar MIPA 2000, 13-14 November 2000, Kampus ITB, Bandung

Aryantha, I.P., R. Cross & D.I. Guest, 2000, Suppression of Phytophthora cinnamomi Rands in potting mixes amended with uncomposted and composted animal manure's, Phytopathology (J) 90 (7), 775-782.

Aryantha, I.P., D. P. Lestari & M. Gantina, 2001, Biofungicide from indigenous microbes for controlling root rot diseases, Patent of Indonesia (Filing date)

Bender, G.S.; W.L Casale and M. Rahimian, 1992, Use of worm-composted sludge as a soil amendment for avocados in Phytophthora-infested soil, Proc. of Second World Avocado Congress, p. 143. (Abstract).

Campbell, R., 1989, Biological control of microbial plant pathogens, Cambridge University Press, Melbourne-Sydney, pp : 41-65.

Chen X, Sun X, Hu Z, Li M, O'Reilly DR, Zuidema D, Vlak JM, 2000, Genetic engineering of Helicoverpa armigera single-nucleocapsid nucleopolyhedrovirus as an improved pesticide, J Invertebr Pathol, 76(2):140-6

Chen, J.S. and J.Q Gao, 1993, The Chinese total diet study in 1990. 1. Chemical contaminants, Journal of AOAC International, 76(6): 1193-1205.

Chevreuil, M.; A.M Carru; A. Chesterikoff; P. Boet; E. Tales and J. Allard, 1995, Contamination of fish from different areas of the river Seine (France) by organic (PCB and Pesticides) and metallic (Cd, Cr, Cu, Fe, Mn, Pb, and Zn) micropolutants, Science of the Total Environment, 162(1): 31-42.

Corke, A.T.K and J. Rishbeth, 1981, Use of microorganisms to control plant diseases, in Microbial control of pests and plant diseases 1970-1980, H.D Burges (Ed.), Academic Press, San Fransisco, p. 717-736.

Cutler, H.G and R.A Hill, 1994, Natural fungicides and their delivery systems as alternatives to synthetics, in Biological contro of postharvest diseases theory and practice : C. L Wilson and M.E Wisniewski (Eds), CRC Press, Tokyo, p. 135-152.

Dejonckheere W.; W. Steurbaut; S. Drieghe; R. Verstraeten and H. Braeckman, 1996, Monitoring of pesticide residues in fresh vegetables, fruits, and other selected food items in Belgium, 1991-1993, Journal of AOAC International, 79(1): 97-110.

Fry, D.M., 1995, Reproductive effects in birds exposed to pesticides and industrial chemicals, Environmental Health Perspectives, 103(Suppl 7):165-171.

Furlong, M.J. & J.K. Pell, 1995, Field and laboratory evaluation of s sex pheromone trap for the autodissemination of fungal entomopathogen Zoophthora radicans (Entomophthorales) by the diamondback moth, Plutella xylostella (Lepidoptera : Yponomeutidae), Bulletin of Entomological Research, 85, 331-7.

Galleguillos C, Aguirre C, Miguel Barea J, Azcon R., 2000, Growth promoting effect of two Sinorhizobium meliloti strains (a wild type and its genetically modified derivative) on a non-legume plant species in specific interaction with two arbuscular mycorrhizal fungi. PLANT SCIENCE, 159 (1):57-63

Grisham J., 2000, Protein biopesticide may be next wave in pest control., Nat Biotechnol 18(6):595

Hoitink, H.A.J., Y. Inbar and M.J. Boehm, 1991, Status of compost-amended potting mixes naturally suppressive to soilborne disease of fluricultural crops, Plant Disease, 75 (9):869-873.

Irisarri P, Gonnet S, & Monza J., 2001, Cyanobacteria in Uruguayan rice fields: diversity, nitrogen fixing ability and tolerance to herbicides and combined nitrogen, J Biotechnol, 4;91(2-3):95-103

Jackson MA, Shasha BS, Schisler DA., 1996, Formulation of Colletotrichum truncatum Microsclerotia for Improved Biocontrol of the Weed Hemp Sesbania (Sesbania exaltata), Biol Control, 7(1):107-13

James, J.R.; B.G Tweedy and L.C Newby, 1993, Efforts by industry to improve the environmental safety of pesticides, Ann. Rev. of Phytopathol., 31:423-439.

Johnstone, R.M; G.S Court; A.C Fesser; D.M Bradley; L.W Oliphant and J. D MacNeil, 1996, Long-term trends and sources of organochlorine contamination in Canadian Tundra Peregrine falcons, Falco peregrinus tundrius, Environmental Pollution, 93(2): 109-120.

Koul O, Jain MP, Sharma VK., 2000, Growth inhibitory and antifeedant activity of extracts from Melia dubia to Spodoptera litura and Helicoverpa armigera larvae. Indian J Exp Biol, 38(1):63-8

Kramer KJ, Morgan TD, Throne JE, Dowell FE, Bailey M, Howard JA., 2000, Transgenic avidin maize is resistant to storage insect pests. Nat Biotechnol 18(6):670-4

Lomer CJ, Bateman RP, Johnson DL, Langewald J, Thomas M., 2001, Biological control of locusts and grasshoppers, Annu Rev Entomol, 46:667-702

Milus, E.A. and C.E Parsons, 1994, Evaluation of foliar fungicides for controlling Fusarium head blight of wheat, Plant Disease, 78(7): 697-699.

Olsson, I.M, Jonsson S, Oskarsson A., 2001, Cadmium and zinc in kidney, liver, muscle and mammary tissue from dairy cows in conventional and organic farming, J Environ Monit, 3(5):531-8

Papavizas, G.C. and R.D. Lumsden, 1980, Biological control of soilborne fungal propagules, Annu. Rev. Phytopathol., 18 : 389-413.

Pyndji, M.; G.S. Abawi and R. Buruchara, 1997, Use of green manures in suppressing root rot severity and damage to beans in Uganda, Phytopathology, 87 (6) : 80.

Raizada RB, Srivastava MK, Kaushal RA, Singh RP. , 2001, Azadirachtin, a neem biopesticide: subchronic toxicity assessment in rats., Food Chem Toxicol, 39 (5):477-83

Reganold JP, Glover JD, Andrews PK, Hinman HR, 2001, Sustainability of three apple production systems, Nature, 410 (6831):926-30

Sannino, A., 1995, Investigation into contamination of proccessed fruit products by carbendazim, methyl thiophanate and thiabendazole, Food Chemistry. 52(1):57-61.

Sauerborn J, Doumlrr I I, Abbasher A, Thomas H, Kroschel J., 1996, Electron Microscopic Analysis of the Penetration Process of Fusarium nygamai, a Hyperparasite of Striga hermonthica, Biol Control, 7 (1):53-9

Schneider, R.W. (Ed), 1982, Suppressive soils and plant disease, St. Paul, Minnes\ota: American Phytopathology Society.

Schuler, C.; J. Pinky; M. Nasir and Vogtmann, 1993, Effects of composted organic kitchen and garden waste on Mycosphaerella pinodes (Berk. et Blox) Vestergr., causal organism of foot rot on peas (Pisum sativum L.), Biological Agriculture and Horticulture, 9: 353-360.

Shapiro, D.I.; G.L Tylka and L.C. Lewis, 1996, Effects of fertilizers on virulence of Steinernema carpocasea, Applied Soil Ecology, 3(1) : 27-34

Steinmetz, J. and F. Schonbeck, 1994, Conifer bark as growth medium and carrier for Trichoderma harzianum and Gliocladium roseum to control Pythium ultimum on pea, Journal of Plant Diseases and Protection, 101 (2) : 200-211.

Stoate C, Boatman ND, Borralho RJ, Carvalho CR, de Snoo GR, Eden P, 2001, Ecological impacts of arable intensification in Europe, J Environ Manage, 63(4):337-65

Suresh Babu G, Hans RK, Singh J, Viswanathan PN, Joshi PC, 2001, Effect of lindane on the growth and metabolic activities of cyanobacteria, Ecotoxicol Environ Saf, 48(2):219-21)

Thomas BA, Church WB, Lane TR, Hammock BD., 1999, Homology model of juvenile hormone esterase from the crop pest, Heliothis virescens, Proteins, 1;34(2):184-96

Wang X, Connor M, Smith R, Maciejewski MW, Howden ME, Nicholson GM, Christie MJ, King GF., 2000, Discovery and characterization of a family of insecticidalneurotoxins with a rare vicinal disulfide bridge, Nat Struct Biol., 7(6):505-13

-------------------------------------
Makalah dibawakan dalam seminar sehari Diskusi Pupuk Nasional Menristek-BPPT, 6 Mei 2002, Jakarta.

The Effects of Chitosan on Antifungal Activity of Trichoderma harzianum Rifai against Fusarium oxysporum

Savina Melia and I Nyoman P. Aryantha

School of Life Science and Technology, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 - INDONESIA

ABSTRACT

The antagonistic cosmopolitan fungi Trichoderma harzianum is well known for its ability to produce some active compounds, such as antibiotics that play a role in suppressing the growth of phytopathogenic fungi e.g. Fusarium oxysporum which causes the wilt disease in tomato plants. Optimization of the medium was made by adding the polysaccharide-group elicitor as chitosan to induce the biosynthesis of secondary metabolites such as antibiotics-antifungal. The addition of chitosan at low concentration (0.01%; 0.02%; and 0.03%) to the medium of T. harzianum was conducted to analyze its antifungal activity effect against the phytopathogenic fungi of tomato wilt disease, F. oxysporum, both in vitro and in vivo. This study includes : 1. Sub-culturing pure culture of T. harzianum and F. oxysporum, 2. Determination of the optimal incubation time, 3. Selection of chitosan concentration, 4. Fermentation of T. harzianum, 5. Extraction of T. harzianum with etil acetate and methanol, 6. In vitro inhibition assay of T. harzianum extract on the growth of F. oxysporum at 0.5%; 0.75%; 1%; 2.5%; and 5% concentration in PDA medium, 7. In vivo inhibition assay of T. harzianum extract on Fusarium wilt disease of tomato seedling at 1% and 2.5% concentration in soil medium. The result showed that in general the best incubation time for all three chitosan treatment was 84 hours for dynamic fermentation followed by static fermentation up to 168 hours. The minimum effective concentration of chitosan that produced the highest antifungal activity against F. oxysporum was 0.02% in PDB medium, which is used for the next step. The best in vitro assay result was shown in methanol-extracted T. harzianum with minimum effective concentration at 2.5% in PDA medium that effectively inhibit the growth of pathogen. Treatment of tomato seed soakage and soil drenched with 2.5% T. harzianum extract effectively suppressed the seedling death and decreased the appearance of Fusarium wilt disease. Chitosan addition in T. harzianum medium has increased the antifungal activity against F. oxysporum and could be considered as the alternative to develop biocontrol system of Fusarium wilt disease in tomato.

Key words : antifungal activity, chitosan, Trichoderma harzianum, Fusarium oxysporum
---------------------------------------------------------------------------------------
The 2nd International Biotechnology & Biodiversity Conference (BIOJOHOR 2010), July 6-8, 2010, Johor Bahru, Johor, Malaysia

PENGEMBANGAN PRODUK KESEHATAN DARI SHIITAKE

I Nyoman P. Aryantha


Staf Pengajar Prodi Mikrobiologi Dep. Biologi ITB
Staf Peneliti Pusat Ilmu Hayati ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132
Email : nyoman@bi.itb.ac.id

PENDAHULUAN

Lentinula edodes (Lentinus edodes) adalah jamur kayu yang umum dikenal di Jepang sebagai Shii-Take, sementara di China dikenal dengan nama Shiang-gu, sedangkan dalam pasar internasional dikenal dengan Chinese black mushroom atau Black forest mushroom.

Secara umum penggunaan jamur Shiitake adalah sebagai bahan pangan. Dengan keberadaan dan cita rasa yang dimilikinya telah menempatkan posisi Shiitake saat ini sebagai jamur yang ke-3 terbesar diproduksi di seluruh dunia setelah champignon (Agaricus) dan Tiram (Pleurotus). Diantara negara-negara produsen jamur di dunia, China dan Jepang adalah produsen jamur Shiitake terbesar. Tahun 2004 China mengekspor Shiitake sebesar 32.276 ton basah dan 24.722 ton kering termasuk ke Indonesia (Yadong, 2004). Diantara bangsa pengkonsumsi jamur, Jepang adalah termasuk pengkonsumsi Shiitake yang besar (Tabel-2). Meskipun termasuk penghasil jamur yang besar juga, namun karena tingginya tingkat konsumsi jamur masyarakat Jepang, tidaklah mengherankan Jepang merupakan negara pengimpor jamur terbesar dari China. Tercatat pada tahun 2004 Jepang mengimpor jamur dari China sebesar 87.722.085 kg termasuk Shiitake dengan nilai U$ 263.106.855 (Tabel-1). Tingginya animo masyarakat Jepang dalam mengkonsumsi jamur terutama Shiitake adalah karena keberadaan nilai gizi dan potensi kesehatan jamur Shiitake.

POTENSI SHIITAKE SEBAGAI BAHAN NUTRACEUTICAL

Nutraceutical adalah termasuk salah satu aspek bisnis yang berkembang paling pesat saat ini. Nilai pasar tahunan nutraceutical (suplemen, mineral, vitamin) termasuk didalamnya jamur obat diperkirakan mencapai lebih dari US $45 miliar dengan pertumbuhan di atas 10%. Untuk sektor penyembuhan penyakit cardiovascular nilai pasar obat myocardial dilaporkan mencapai US $8 miliar termasuk kategori penurun kolesterol (US $6 miliar), antithrombolytics ($US1.4 miliar) dan anticoagulants (US $700 juta). Sementara obat untuk penyakit darah tinggi dilaporkan mencapai US$22 miliar dalam pasar global (Anon., 2000).

Shiitake telah lama diketahui berpotensi sebaga agen pencegah dan penyembuhan penyakit kardiovaskuler terutama kolesterol. Dengan gambaran peluang pasar nutraceutical untuk penyembuhan penyakit kardiovaskuler ini, maka dapat dikatakan bahwa jamur Shiitake memiliki potensi pasar yang besar sebagai bahan dasar agen nutraceutical untuk penyakit tersebut. Belum lagi dalam aspek kesehatan lain yakni kanker dan infeksi bakteri dan virus. Kasus kanker kian hari kian bertambah banyak, bahkan di beberapa negara sudah mencapai angka frekwensi 1 dari 4 orang adalah penderita kanker. Gejala akhir-akhir ini dimana penyakit menular oleh virus seperti AIDS, SARS, dan Flu Burung adalah relung tambahan Shiitake dapat dikembangakan sebagai agen nutraceutical. Banyak penelitian yang sudah membuktikan potensi Shiitake dapat berperan dalam kasus-kasus di atas. Dari berbagai kajian tersebut secara garis besar dapat dirangkum bahwa Shiitake memiliki potensi yang menonjol dalam 3 aspek penyakit yakni degeneratif (anti kolesterol), anti kanker dan anti mikroba terutama anti virus (Tabel 7).

Anti-Kolesterol

Shiitake mengandung 18 macam asam amino dan 7 diantaranya adalah merupakan asama amino esesnial dari 8 jenisi asam amino esensial yang diketahui (Tabel 3, 4 dan 5) . Jamur ini juga telah diketahui mengandung lebih dari 30 macam ensim. Salah satu dari asam amino yang unik adalah yang mulanya dikenal dengan nama Lentisin atau Lentinasin dan kemudian diisolasi dan diberi nama Eritadenin (Tokita et al., 1972). Senyawa ini dinyatakan berperan secara signifikan dalam menurunkan kadar kolesterol. Menurut Breene (1990), Shiitake mengandung Eritadenin yang relatif tinggi yakni sekiat 600-700 µg/g (berat kering). Disamping itu, Kurasawa et al. (1982) telah mendemosntrasikan bahwa serat yang termasuk “neutral detergent fiber” (NDF) berbeda dengan Eritadenin dari Shiitake juga memiliki khasiat dalam menurunkan kolesterol.

Anti-Kanker

Diantara kajian khasiat obat yang paling banyak dilakukan pada Shiitake, tampaknya khasiat anti kanker merupakan aspek yang paling banyak dilakukan (Tabel 7, 8 dan 9). Senyawa polisakarida yang disebut Lentinan dari Lentinula edodes (Shiitake) sudah lama dikenal sebagai agen anti kanker. Lentinan adalah senyawa polisakarida dengan ikatan glikosidik 1,3-β yang dikenal dengan senyawa 1,3-β glukan. Struktur senyawa ini terdiri dari lima residu 1,3-β glukosa dalam ikatan rantai lurus dan dua cabang 1,3-β -glucopyranoside rantai samping yang menghasilkan struktur triple helix kanan [Chihara et al, dalam Vincent et al, 2000]. Konformasi senyawa polisakarida anti tumor meliputi bentuk single helix, triple helix dan random coiled. Bentuk triple helix umumnya memiliki sifat lebih stabil dibandingkan dengan yang single helix. Lentinan dengan konformasi triple helix memiliki berat meolekul sekitar 400-800 x 103 (Ooi & Liu, 2000). Kebanyakan senyawa anti tumor yang dijumpai pada jamur obat adalah berupa senyawa glukan dengan berbagai variasi ikatan glikosida (Tabel-6).

β -Glukan yang mengandung terutama ikatan 1,6 memiliki aktivitas anti tumor lebih rendah. Senyawa glukan dengan berat molekul yang lebih tinggi tampak lebih efektif dibandingkan dengan yang berbobot molekul lebih rendah. Ada berbagai variasi senyawa polisakarida anti tumor dengan struktur kimia berbeda, seperti hetero- β -glucan, heteroglycan, β -glucan-protein, α-manno-β-glucan, α -glucan, α -glucan-protein dan kompleks heteroglycan-protein. Sudah dilaporkan bahwa berat molekul, derajat percabangan, konformasi dan modifikasi secara kimia senaywa polisakarida antitumor secara berarti mempengaruhi aktivitas antitumor dan immunomodulator nya (Ooi & Liu, 2000).

Dr. Chihara, yang banyak meneliti dalam masalah anti kanker dari jamur Shiitake beranggapan bahwa penelitian kanker harus difokuskan terhadap mekanisme peningkatan sistim intrinsik tubuh untuk melawan atau menangkal kanker bukan ke obat pembunuh sel kankernya. Lentinan adalah salah satu bahan aktif dari Shiitake yang berperan dalam meningkatkan sistim pertahanan tubuh terhadap serangan kanker melalui sistim yang kompleks termasuk produksi cytokine dari immunocyte telah direkomendasikan sebagai salah satu obat anti kanker di Jepang (Kwon, 2001).

Mekanisme Lentinan dalam melawan kanker

Mekanisme kerja anti tumor dari senyawa polisakarida atau kompleks polisakarida-protein yang berasal dari kebanyakan jamur masih belum diketahui secara pasti. Namun demikian, sudah diterima secara luas di kalangan ilmuwan bahwa senyawa polisakarida antitumor dari jamur dapat meningkatkan berbagai faktor yang bekerja dalam sistim kekebalan tubuh. Diduga bahwa respon kekebalan yang dimediasi sel (cel-mediated immune respon) adalah yang memainkan peran kritikal dalam aktivitas polisakarida anti tumor. Berbagai hasil eksperimen menunjukkan bahwa mekanisme kerja senyawa polisakarida atau kompleks polisakarida-protein dari jamur adalah melalui pengaturan sistem immunomodulatory cytokine serta aktivasi sistem imun pelengkap yang lain. Polisakarida atau kompleks polisakarida-protein diyakini sebagai multi-cytokine inducers yang dapat menginduksi ekspresi gen dari berbagai cytokines dan cytokine receptors.

Menurut pemaparan dalam review Ooi & Lee (2000), Lentinan berperan dalam pengobatan kanker melalui beberapa mekanisme tidak langsung terhadap sistim intrinsik tubuh tanpa langsung membunuh sel tumor diantaranya : mengaktifkan dan mengefektifkan sel makrofag untuk memakan sel tumor dan menstimulasi sel-sel T-helper. Lentinan juga berperan sebagai inducer interferon yang dapat mengontrol pertumbuhan dan replikasi sel tumor.

Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk mengkaji potensi anti kanker senyawa Lentinan dari Shiitake. Okamoto et al., (2004) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa Lentinan dari Lentinula edodes, memiliki potensi anti-tumor dan immunomodulating melalui produksi cytokine dari immunocytes. Hasil penelitian mereka akhir-akhir ini dengan topik kanker hati membuktikan bahwa Lentinan dapat menekan ekspresi gen hepatic CYP1A baik secara constitutif maupun induktif. Ngai & Ng (2003) melaporkan bahwa senyawa protein dengan bobot molekul 27,5 KD memiliki aktivitas penghambatan terhadap proliferasi sel leukemia. Sementara itu, Ng & Yap (2002) melaporkan bahwa Lentinan secara signifikan dapat menghambat kanker kolon dan limfosit dari mencit yang diberi perlakuan Lentinan lalu diberikan ke mencit juga secara berarti dapat melindungi hewan percobaan dari kanker kolon.

Penelitian lain oleh Ming et al., (1999) terhadap sel hepatoma secara in vitro melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak polisakarida Shiitake secara signifikan dapat mengurangi indeks mitosis sel kanker SMMC-7721. Sejalan dengan itu, jumlah sel dan aktivitas mitokondrianya juga menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan kontrol.

Anti mikroba dan anti virus

Lentinan juga telah diteliti efektif sebagai agen anti mikroba untuk menghamabat Mycobacterium tuberculosis dan Listeria monocytogenes. Sebagai agen anti virus, Lentinan dilaporkan mampu menghambat replikasi adenovirus type 12, virus Abelson dan virus VSV-encephalitis [Chihara, 1992]. Senyawa protein dengan BM 27.5 KD, telah dilaporkan memiliki sifat anti fungi termasuk Physalospora piricola, Botrytis cinerea dan Mycosphaerella arachidicola (Ngai & Ng, 2003).

Pengujian anti bakteri terhadap E. coli, B. subtilis dan S. aureus menunjukkan adanya kemampuan menghambat yang signifikan dari metabolit Shiitake yang dikeluarkan selama penumbuhan dalam kultur bawah permukaan selama 1-3 minggu. Filtrat pekat L. edodes dengan konsentrasi 1 g/mL dapat menghambat pertumbuhan E. coli dengan zona hambat berdiameter 9,55 mm, B. subtilis dengan zona hambat berdiameter 10,05 mm, dan S. aureus dengan zona hambat berdiameter 9,1 mm. Sementara itu fraksi amonium sulfat 30-60% dari medium pertumbuhan bawah permukaan hanya menghambat S. aureus sebesar dengan diameter 9 mm (Grace, 2004).

Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa Lentinan tunggal tidak dapat memblok infeksi HIV, namun perlakuan dengan 3’-azido-3’-deoxythymidine (AZT) dapat menekan replikasi HIV melalui stimulasi sistim imun untuk menghasilkan berbagai faktor yang dapat mencegah replikasi HIV [Tochikura et al., dalam Ooi & Liu, 2000]. Dalam penelitian terkait HIV lain yang dilakukan oleh Ngai dan Ng (2003) dikatakan bahwa senyawa protein dari Shiitake dapat menghambat transkripsi balik HIV-1.

Sementara itu beberapa hasil penelitian yang direview dalam artikel Ooi & Liu tersebut dinyatakan bahwa Sulfated Lentinan memiliki aktivitas anti-HIV yang kuat walau ternyata sifat anti tumor nya menurun. Namun masih belum diketahui mekanisme penghambatan anti virus dari Lentinan sulfat ini. Tampaknya Lentinan mampu mempengaruhi sistim fisiologis tubuh inang dan meningkatkan resistensinya terhadap infeksi dari berbagai patogen bakteri, virus, fungi dan parasit .

PENGEMBANGAN PRODUK SHIITAKE

Dalam upaya pengembangan nutraceutical dari Shiitake, beberapa bentuk produk dapat dibuat dari biomasa miselium, tubuh buah maupun dari metabolit yang diekskresikan atau terlarut (lisis) dalam proses penumbuhan sistim bawah permukaan.

Biomasa Kasar Miselium dan Tubuh Buah

Biomasa miselium dapat berasal dari sistim fermentasi padat (solid state fermentation) atau sistim cair (submerged fermentation). Sedangkan biomasa tubuh buah tentu dihasilkan dari proses penumbuhan tubuh buah dalam sistim bag log maupun sistim log batang kayu. Dari biomasa miselium atau tubuh buah ini dapat dibuat produk nutraceutical berupa bubuk kering yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi minuman seduhan instan berupa kopi, teh tubruk atau teh celup, kapsul dan tablet.

Kandungan senyawa aktif dalam biomasa miselium ini kemungkinan besar tidak selengkap dan sebanyak senyawa aktif yang terdapat dalam tubuh buah. Hal ini tergantung dari masa inkubasi serta komposisi substrat (medium). Semakin lama masa inkubasi (dalam batas tertentu) dan semakin kompleks komposisi substrat (mendekati substrat penumbuhan tubuh buah) semakin mendekati kualitas biomasa miselium dengan kualitas biomasa tubuh buah.

Khusus untuk biomasa tubuh buah dapt juga dibuat produk sederhana hanya berupa irisan yang dikeringkan. Irisan kering ini selanjutnya dapat disajikan dengan menyeduh atau merebus lalu diminum air rebusan atau seduhannya. Sudah tentu dapat dimakan sekalian ampas dari biomasanya karena pada dasarnya Shiitake adalah jamur konsumsi yang bercita rasa lezat. Untuk hal yang terakhir ini, perlakuan yang paling sederhana adalah hanya dengan pengeringan dengan cara menjemur atau dengan alat pengering khusus terhadap tubuh buah yang utuh seperti umumnya dilakukan untuk pemasaran.

Pengembangan produk biomasa miselium dapat juga dilakukan melalui pembuatan tempe seperti layaknya tempe dari Rhizopus dengan menggunakan substrat yang cocok. Hanya prosesnya akan lebih rumit karena Shiitake bukan jamur yang mudah dan cepat tumbuh seperti Rhizopus disamping inokulumnya sulit dibuat dalam bentuk spora yang steril.

Produk Metabolit

Metabolit dapat diperoleh dari proses ekstraksi tubuh buah dan miselium atau dari medium cair dalam proses fermentasi bawah permukaan. Metabolit primer seperti beta glukan dapat diperoleh dari proses ekstraksi biomasa terutama tubuh buah dengan menggunakan pelarut air atau ethanol. Selanjutnya dilakukan upaya pemurnian untuk mendapatkan ekstrak yang relatif murni terutaman untuk pengobatan kanker. Dari ekstrak tersebut lalu dibuat produk berupa kapsul, tablet, atau minuman yang diformulasikan guna memperoleh rasa yang disukai.

Ekstraksi
Salah satu metode ekstraksi dan pemurnian Lentinan yang dikembangkan oleh Chao (1989) adalah sebagai berikut. Tubuh buah segar dihomogenisasi tiga kali, lalu dipanaskan pada 98 -100oC selama 5 jam, lalu disentrifuga selama 15 menit dengan kecepatan 4500 rpm. Supernatan diambil dan endapannya kembali diekstrak dua kali. Semua supernatan dipekatkan sampai volume tertentu lalu diendapkan dengan menggunakan ethanol 95% sebanyak 3 kali lalu dibiarkan semalaman pada suhu 4oC. Endapan kemudian diambil dengan cara sentrifugasi, lalu dilarutkan kembali dengan aquadest, didialisis sebanyak 4 kali selama 2 hari, diberi perlakuan trypsin dan protein diendapkan dengan metode Sevag. Ekstrak polisakarida kembali didialisis 4 kali selama 2 hari lagi, lalu diendapkan dengan ethanol 95% sebanyak 3 kali, kembali dibiarkan semalaman, lalu disentrifukasi untuk mengambil endapannya. Endapan putih yang terbentuk lalu dibilas dengan ethanol 100% dan acetone lalu dikeringkan pada suhu ruang.

PENUTUP
Shiitake adalah jamur konsumsi berkhasiat obat yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi produk nutraceutical. Negara maju dalam perjamuran seperti China dan Jepang sudah memelopori pengembangan Shiitake sejak lama. Dengan semakin menurunnya kualitas kehidupan, dimana berbagai penyakit degeneratif dan kanker semakin merajalela, maka Shiitake dapat merupakan agen nutraceutical yang potensial di masa datang. Tiga aspek penyembuhan penyakit yang menonjol ada pada Shiitake adalah sebagai anti kolesterol, anti kanker dan anti virus. Berbagai produk nutraceutical dapat dikembangkan dari biomasa maupun metabolit jamur Shiitake.

REFERENSI

Annonimous, 2000, New Pharmaceutical, Nutraceutical & Industrial Products, Wondu Holdings Pty Limited, RIRDC Publication No. 00/173 RIRDC Project No. WHP-4A

Bing, C, and L.Li, 2004, Analysis of Consumer Buying Behavior for Fresh Shiitake, http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500

Breene WM, 1990, Nutritional and medicinal value of specialty mushrooms. J Food Prot. 53: 883-894.

Chao PY, Wu ZD, Wang RC. , 1989, The extraction, purification and analysis of polysaccharide PA3DE from the fruit body of Flammulina velutipes(Curt. ex Fr.) Sing.Acta Biochemica and Biophysica Sinica, 21:152-156

Cheung PCK., 1996, Dietary fiber content and composition of some cultivated edible mushroom fruiting bodies and mycelia. J Agri Food Chem. 44: 468-471

Cheung PCK., 1997, Dietary fiber content and composition of some edible fungi determined by two methods of analysis. J Sci Food Agri. 73: 255-260

Chihara, G. 1992, International Journal of Oriental Medicine, 17, 57-77.

Kumar, S. and N. M. Lee, 2004, Apoptosis and Cytokine Induction Studies by Virus-like Particles from Lentinus edodes on Murine Lymphoma, http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500

Kurasawa S, Sugahara T, Hayashi J., 1982, Studies on dietary fiber of mushrooms and edible wild plants. Nutr Rep Int. 26: 167-173

Kwon, H.K., 2001, Nature's Answer to Modern Disease: Shiitake, http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500

Mattila P, Salo-Vaananen P, Konko K, Aro H, Jalava, 2002, Basic composition and amino acid contents of mushrooms cultivated in Finland. J Agri Food Chem. 50: 6419-6422.

Ming, J.S., X. Z. Ming and X. Z. Hui, 1999, Inhibitory activity of polysaccharide extracts from three kinds of edible fungi on proliferation of human hepatoma SMMC-7721 cell and mouse implanted S 180 tumor, World Journal of Gastroenterology 5(5):404-407

Ng ML, Yap AT., 2002, Inhibition of human colon carcinoma development by Lentinan from Shiitake mushrooms (Lentinus edodes)., J Altern Complement Med. 8(5):581-9.

Ngai PH, Ng TB, 2003, Lentin, a novel and potent antifungal protein from shitake mushroom with inhibitory effects on activity of human immunodeficiency virus-1 reverse transcriptase and proliferation of leukemia cells., Life Sci. 14;73(26):3363-74.

Okamoto, T, Kodoi R, Nonaka Y, Fukuda I, Hashimoto T, Kanazawa K, Mizuno M, Ashida H., 2004, Lentinan from Shiitake mushroom (Lentinus edodes) suppresses expression of cytochrome P450 1A subfamily in the mouse liver, Biofactors. 21(1-4):407-9

Ooi, V. E. C. and F. Liu, 2000, Immunomodulation and Anti-Cancer Activity of Polysaccharide-Protein Complexes, Current Medicinal Chemistry, (7) 715-729

Przybylowicz, P. and J. Donoghue, 1988, "Nutritional and Health Aspects of Shiitake", Shiitake Growers' Handbook, Kendal/Hunt Publishing Company, pp. 183-188, dalam http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500

Tokita F, Shibukawa N, Yasumoto T, Kaneda T., 1972, Isolation and chemical structure of the plasma cholesterol reducing substance from Shiitake mushroom. Mush Sci. 8: 783-788

Yadong, H., 2004, Report on the Export of China's Mushroom Products in 2004, http://www.mushworld.com/oversea/list.asp?cata_id=5120

Yap, A.T., S. K. Chandramohan, M. L. N. Mary, 2004, Partially Purified Lentinam from Shiitake Mushroom (Lentinus edodes) still Retain Antitumour Activity, http://www.mushworld.com/medicine/list.asp?cata_id=6500

-----------------------------------------------------
Prosiding Lokakarya Pengembangan Prpoduk dan Industri Jamur Pangan, BPPT Jakarta 1-2 Agustus 2005

Lovastatin production by Laetiporus sp. (Bull. ex Fr.) Bond. et Sing. in various solid substrates

I Nyoman Pugeg Aryantha (1,2) Mutiara L. Sidharta (1) and Siti Khodijah Chaerun (1,2)


1) School of Life Sciences and Technology - ITB
2) Center for Life Sciences - ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132, INDONESIA
Corresponding author : nyoman@sith.itb.ac.id

ABSTRACT

Several fungi, including Penicillium citrinum, Aspergillus terreus and Pleurotus ostreatus have been reported can produce lovastatin, an anti-cholesterol agent. So far, there is no data on the ability of Laetiporus sp. to produce lovastatin. Our previous finding, indicated that Laetiporus sp. was able to lower cholesterol level in mice blood. This current study was aimed to proof whether Laetiporus sp. can produce lovastatin and what was the effect of different substrates on lovastatin production by using solid state fermentation method. Four different kinds of substrate i.e wood sawdust, coconut fiber, corn cob and black tea waste both ordinary and enriched with cereals. Five day-old mycelial plate culture of Laetiporus sp. was inoculated into eight types of substrate [ordinary wood sawdust (KY-B), enriched wood sawdust (KY-K), ordinary coconut fiber (SK-B), enriched coconut fiber (SK-K), ordinary corn cob (J-B), enriched corn cob (J-K)], ordinary black tea waste (T-B) and enriched black tea waste (T-K) before being incubated over 25 days at room temperature. After incubation period, the culture was harvested and then extracted using methanol : water solution (1:1, pH 7.7). The extracts were then analyzed quantitatively using HPLC. The highest lovastatin concentration (10.41 μg/g) was achieved by ordinary sawdust (KY-B). Based on this result, the production of lovastatin by Laetiporus sp. in KY-B was monitored periodically at time intervals of 8, 16 and 24 days. LOM (Loss of Organic Matter) was also calculated to determine the increase of mycelia biomass during incubation time. The HPLC result showed that the highest lovastatin concentration (37.20 μg/g) was achieved at day 8 of incubation and then decreased significantly on day 16 and 24. The production of lovastatin was adversely related to the increase of mycelial biomass. It is suggested that the degradation of cellulose and hemicellulose from wood sawdust may correspond to lovastatin production by Laetiporus sp.

Keywords: Laetiporus sp., lovastatin, solid state fermentation, sawdust
-----------------------------------------------------------------------
Asian Mycological Congress (AMC), Penang Malaysia, 2-6 December 2007

DETEKSI SENYAWA LOVASTATIN PADA KULTUR MISELIUM DAN TUBUH BUAH JAMUR TIRAM (Pleurotus ostreatus)


I Nyoman P. Aryantha dan Siska Widayanti
Mikrobiologi, Dept. Biologi FMIPA ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132

ABSTRACT


Fungi from the Pleurotus genus has been reported to produce lovastatin, a potential secondary metabolite as an anti-hypercholesterolemic agent (Chang dan Miles,1973). This research was aimed to study whether lovastatin was produced in the mycelial of P. ostreatus and to measure its quantity. The essay was conducted to detect lovastatin towards two types of samples, which are (A) filtrate from submerged culture of P.ostreatus mycelial (B) filtrate of P.ostreatus mycelial fermentation by L. fermentum. Submerged culture of the mycelia was conducted in potato dextrose broth and fermentation was in sugar solution. Thin layer chromatography (TLC) method was used for lovastatin detection. The eluent used in TLC method was a mixture of dichloromethane and ethyl acetate (70:30,v/v) and acetonitrile as the solvent (Samiee,2003). Lovastatin standard produced a purlple band with the Rf value of 0.87. Qualitative analysis showed that both sample A and B had the same color band and Rf value with the standard. Quantitative analysis resulted that in sample A there was 9.3 mg/L of lovastatin while in sample B there was 24.3 mg/L. From this research it can be concluded that lovastatin was produced by the mycelial vegetative culture of P.ostreatus.

Keywords: Lovastatin, Mycelium, Pleurotus ostreatus
------------------------------------------------------
PROCEEDING SEMINAR MIPA IV, Bandung, 6 – 7 Oktober 2004, Hal : 560-563

EKSPLORASI DAN ISOLASI ENZIM GLUKOSA OKSIDASE DARI FUNGI IMPERFEKTI (GENUS Penicillium dan Aspergillus) INDIGENUS

Firman A.P
I Nyoman P. Aryantha

KPP Ilmu Hayati LPPM ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132

ABSTRAK

Telah dilakukan eksplorasi fungi imperfecti genus Pencillium dan Aspergillus indigenus yang dapat memproduksi enzim glukosa oksidase. Dari 93 isolat yang diuji (ditapis) secara kualitatif dengan metode uji tabung reaksi berisi medium glukosa dengan indikator bromcresol purple (BCP), diperoleh 11 isolat yang positif menghasilkan enzim glukosa oksidase. Ke 11 isolat tersebut adalah Aspergillus niger BT-I, Aspergillus niger BT-2, Aspergillus niger B-1, Aspergillus niger 15, Aspergillus niger III, Aspergillus niger DDL-1, Aspergillus niger 2, Aspergillus niger 3, Penicillium sp-3 dan Penicillium sp-M. Hasil isolasi dan uji aktivitas enzim dengan metode kolorimetri diperoleh 10 isolat yang aktif memproduksi enzim glukosa oksidase intrasel dengan aktivitas sebagai berikut: Aspergillus niger BT-1 (8,0 unit/mL), Aspergillus niger BT-2 (15,55 unit/mL), Aspergillus niger B-1 (15,72 unit/mL), Aspergillus niger 15 (2,87 unit/mL), Aspergillus niger III (14,81 unit/mL), Aspergillus niger DDL-1 (16,20 unit/mL), Aspergillus niger 2 (10,23 unit/mL), Aspergillus niger 3 (12,89 unit/mL), Penicillium sp-3 (14,01 unit/mL) dan Penicillium sp-M (2,15 unit/mL). Dari hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat fungi imperfekti lokal (Penicillium dan Aspergillus) memiliki potensi sebagai penghasil enzim glukosa oksidase yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Saat ini sedang dilakukan karakterisasi enzim glukosa oksidase dari masing-masing isolat terpilih.

Kata kunci: Penicillium, Aspergillus niger, glukose oksidase
-----------------------------------------------------------
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia 2003 di Bandung, 29-30 Agustus 2003

Penanda Molekul DNA Mikrosatelit Untuk Karakterisasi Bibit Jamur Kuping (Auricularia polytricha [Mont.] Sacc.)

I Nyoman Pugeg Aryantha1,2), Yuniar Mulyani2) dan Rahmat Ariffudin2)

1) KK-Mikrobiologi-Genetika-Biologi Molekuler, SITH-ITB
2) Pusat Ilmu Hayati - ITB

Jalan Ganesha 10, Bandung 40132, INDONESIA

ABSTRACT

This study aims to find out a method of spawn characterization for wood ear mushroom (A. Polytricha) based on microsatellite DNA marker. Four strains of wood ear mushroom cultivated in several regions of Java i.e AUC (West Java), AUCN (Central Java), AUP (West Java) and AUT (West Java) were evaluated. A pair of designed primer (5’ -GGGAAAGTGATCCCATCTT-3’ and 3’-AGTTGTGGGAACATCGAACT-5’) was able to amplify microsatellite DNA from those four strains of wood ear mushroom. Strains AUC, AUCN and AUP share the same positions (2 loci) of microsatellite motive (TC)n with PCR products of 212 and 201 bp, while the same motive for strain AUT was found at different loci with PCR products of 127, 108, and 96 bp. The same motive was also found at another locus of strain AUC and AUP with a PCR product of 228 bp. Another different locus with a PCR product of 85 bp also gave positive amplification result for strain AUC. The data on macroscopic characters (mycelial growth rate and quality, fruiting percentage and mushroom yield) reveal that AUC, AUCN and AUP are good strains, while AUT is bad strain. Overall, there is a good correlation between molecular (microsatellite DNA) patterns and macroscopic data on mycelial growth rate and quality as well as flushing percentage and mushroom yield. Therefore, microsatellite DNA motive of (TC)n can be adopted for spawn characterization of wood ear mushroom.

Key words : Auricularia polytricha, wood ear mushroom, microsatellite DNA, spawn characterization
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Jurnal Matematika dan Sains, Vol 13 (1) : halaman 7-15

PROTEOLYTIC BACTERIA STUDY IN PRODUCTION OF CHEESE BY FERMENTATION

Arry Miryanti (a) and I Nyoman Pugeg Aryanth (a,b)

a Industrial Technology Faculty, Catholic Parahyangan University Bandung, Indonesia
b School Of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung, Indonesia

Abstract

The main target of this research is to obtain bacteria isolates from food and beverage products with good proteolytic characteristic in forming curd, and also to optimize the type and inoculum ratio, fermentation temperature, initial medium pH, inoculum concentration and milk composition. The first step was microorganism isolation from whey and traditional food than followed by isolates screening, identification of chosen isolate, activation of chosen isolate, growth characterization, and finally the optimization in three phases. First optimization was conducted by varying the inoculum ratio of Leuconostoc paramesenteroides and Lactobacillus delbrueckii. The 2nd optimization was conducted by varying initial medium pH and inoculum concentration. The 3rd optimization was conducted by varying the weight ratio (in gram) of skim milk and cow milk and control treatment without skim milk addition. From 13 isolates which were screened, two bacteria isolates have proteolytic property and produce good quantity of curd. These isolates are isolate-B (Leuconostoc paramesenteroides) and isolate-L (Lactobacillus delbrueckii). The age of Leuconostoc paramesenteroides culture which was used as inoculum was 4-6 hours with a maximum growth rate 0.4704 cell/hour and fastest generation time of 1.4734 hour. The age of Lactobacillus delbrueckii culture which was used as inoculum was 2-4 hours with a maximum growth rate 0.4820 cell/hour and fastest generation time of 1.4378 hour. The optimum condition was reached by using single inoculum from Lactobacillus delbrueckii, with fermentation temperature of 370C, inoculum concentration of 10%-v/v, initial medium pH of 6,8 and skim milk to cow milk ratio of (50:250)-w/w. The results on cheese production at these optimum conditions were as follows : yield of cheese 13.31%, water content 57.76%, protein 17.24%, fat 6.73%, the rating of colour 2.67 (rather white), texture 3.00 (rather soft), taste 4.60 (not acid) and flavour 3.07 (delicious enough).

Keywords : proteolytic, coagulation, skim milk, cow milk, cheese.
------------------------------------------------------------------
 2nd International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung 2008

The lactic acid bacteria as biocontrol agent against Salmonella typhi

Arina Novilla1) I Nyoman Pugeg Aryantha1,2), Dea Indriani Astuti1)

1) KK Mikrobiologi Genetika dan Biologi Molekuler, SITH-ITB
2) Pusat Ilmu Hayti ITB

Abstract

Salmonella typhi is a potential food born pathogen causing typhoid fever for human. The use of antibiotic to overcome this germ may also kill beneficent bacteria in the intestines. A better alternative to control S. typhi has to be found out. This research was aimed to obtain good bacteria (probiotic) that can suppress the growth of S. typhi as well as to study their dynamical population in liquid culture. Probiotic bacteria were first isolated from several samples of yoghurt, kefir and pickles. Eighteen (18) isolates including 10 yeast and 8 bacteria were obtained. Standard anti-microbial sensitivity test using Kirby Bauer method was then conducted for screening of these isolates. The result indicated that two isolates i.e A5-1 and A5-2 show a strong anti microbial effect. These two isolates which were identified as Lactobacillus helveticus (A5-1) and Lactobacillus delbrueckii (A5-2) were then tested further. S. typhi was then challenged with both isolates. The growth rate of A5-1 (L. helveticus) without shaking was 0,24/hour and the growth rate of A5-2 (L. delbrueckii) was 0,16/hour. On the other hand, the growth rate of S. typhi without shaking was 0,16/hour. Inhibition test showed that S. typhi was the best inhibited by L. delbrueckii after 18 hours over 12.5 mm on agar plate. Further on, S. typhi population was significantly reduced over 22.9% by a mixture of A5-1 and A5-2 (1:1) in liquid system. This result indicates the potential use of probiotic bacteria to control S. typhi population without threatening the beneficent microflora which mainly also belong to lactic acid bacterial group

Key words : Probiotic bacteria, lactic acid bacteria, Lactobacillus helveticus, Lactobacillus delbrueckii, Salmonella typhi
--------------------------------------------------------------- 
1st  International Conference on Mathematics and Natural Sciences, 29-30 Nov. 2006, Bandung West Java

THE STUDY OF MICROBIAL FUEL CELL (MFC) USING MICROBIAL CONSORTIUM FROM ORGANIC WASTES

I Nyoman Pugeg Aryantha (a,b) and Jamilah (a)
a) Microbiology, Genetics and Molecular Biology, School Of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
b) Center for Life Sciences, Institut Teknologi Bandung, Indonesia

Corresponding author : nyoman@sith.itb.ac.id

ABSTRACT

Microbial fuel cell is a system that converts biochemical energy into electrical energy with the aid of the catalytic reaction of microorganisms. The potency of liquid tofu waste, liquid laboratory waste and slaughterhouse waste (rumen) was evaluated to produce electric voltage in microbial fuel cell (MFC) system. Liquid waste with the highest electric voltage was chosen to be optimized further by adding molasses and urea. Rumen was chosen since it produced the highest voltage with a value of 810 mV over seven days incubation. The voltage produced by the addition of 1 % molasses and 1 % urea (treatment 1) were 650 mV, while the addition with 2.5 % of molasses and 1% of urea (treatment 2) gave a higher value of voltage (825 mV), and without added substrate is 600 mV after 40 hours incubation. These results associated with FDA hydrolysis as a result of hydrolytic enzyme activity of microbial consortium in the system. Microbial consortium of rumen in treatment 2 was more active in hydrolyzing FDA into fluorescein (9.55 µg/ml/min) compared to treatment 1 (9.2 µg/ml/min).
Keywords: Microbial Fuel Cell (MFC), rumen, microbial consortium
-------------------------------------------------------------------
2nd International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, 2008

THE STUDY OF HYDROGEN BACTERIA ON PRODUCING ELECTRICAL ENERGY IN MICROBIAL FUEL CELL (MFC) SYSTEM

Jamilah1 and I Nyoman Pugeg Aryantha1,2

1)    Microbiology, Genetics and Molecular Biology, School Of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
2)    Center for Life Sciences, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
Corresponding author : nyoman@sith.itb.ac.id

Abstract

Heterotrophic bacteria tend to produce unpleasant odor therefore in this study litotrophic (hydrogen) bacteria are studied for their potency to produce electrical energy in MFC system. Hydrogen bacteria are isolated from Java, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, and Bali Island. Bacterial consortium from each place was cultured in the Mineral Medium for Hydrogen Bacteria. There were 30 isolates of hydrogen bacteria obtained and each of them was evaluated for its ability to generate electric potential. Isolates which can produce more than 500 mV were then combined to produce a bigger electrical voltage. The highest voltage from single isolate was achieved by Cihideung isolate with value 575 mV, while the combination of Cihideung isolate and Tangkuban Perahu (H2-TP3TR4) gave the highest voltage of 625 mV. The isolate TP3 was identified as Hydrogenophaga palleronii and TR4 as Pseudomonas hydrogenovora.
----------------------------------------------------------------------------------
2nd International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, 2008

Thursday, August 4, 2011

MODIFICATION OF MEMBRANE, CATHODE ELECTROLITE AND ANODIC MATERIALS IN MICROBIAL FUEL CELL (MFC) SYSTEM

I Nyoman P. Aryantha1,2 and Jamilah2

1Microbiology-Genetics-Cell Molecular Biology Division, School of Life Sciences and Technology
2Center for Life Sciences, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132

Email : nyoman@sith.itb.ac.id

Abstract

The study of Microbial Fuel Cell system has been increasing rapidly. Current MFC system consists of microbial culture as anodic electrolyte, Nafion as proton exchange membrane, Potassium Ferricyanide as cathode electrolyte and both anode and cathode components use graphite as electrode. Nafion membrane and Potassium Ferricyanide are relatively expensive which may inhibit the research development on MFC. Electrodes for anode and cathode components using the same material (graphite) produce relatively low electrical voltage. This research tries to develop a modified system which is cheaper and results in a higher electrical voltage. Hydrogen bacteria (Hydrogenophaga palleronii and Pseudomonas hydrogenovora) from previous research at Center for Life Sciences ITB were used as anode component in this research. These bacteria were grown on modified medium containing Sidoarjo sludge as a primary substrate supplemented with CO(NH2)2 and NaHCO3 with initial pH of 7-8 and inoculum concentration of 15% v/v (Jamilah and Aryantha, 2008). Polyalumunium chloride, Sodium hypochlorite and Acetic acid were evaluated for their potency as cathode electrolyte to substitute Potassium Ferricyanide. A combination of zeolite, Plered clay soil, gypsum, kaoline sediment, Sidoarjo sludge and cement were evaluated their potency as membrane formula to substitute Nafion membrane. Carbon (graphite) based cathode (catho-electrode) was combined with zinc (Zn), copper (Cu), and tin (Sn) materials as an anode (ano-electrode), to substitute graphite in previous system. The result with the best value of electrical voltage (1743,6 mV) was achieved by a combination of zeolit-clay soil-cement (zeclace) as a membrane formula, carbon as catho-electrode and zinc as ano-electrode. This arrangement was combine with acetic acid (acticid) as cathode electrolyte (catho-electolyte) to substitute Potassium Ferricyanide in previous system. This result is a significant improvement on MFC system which is much cheaper and produce much higher electrical voltage than previous system.

Keywords: Modified MFC system, Hydrogenophaga palleronii, Pseudomonas hydrogenovora, zeolite-clay-cement (zeclace), zinc, acetic acid.
-----------------------------------
International Conference And Exhibition-Science & Technology In Biomass Production: Optimizing University-Industry Collaboration, ITB Bandung, 25-26 November 2009

The electrical voltage production of Gamma-irradiated iron bacteria (Pseudomonas sp) in Microbial Fuel Cell (MFC) system

Shinta Asharina1 and I Nyoman P. Aryantha1,2

1Microbiology-Genetics-Cell Molecular Biology Division, School of Life Sciences and Technology
2Center for Life Sciences
Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132
Email : nyoman@sith.itb.ac.id

ABSTRACT

Microbial Fuel Cell (MFC) is a new energy generating system using microbes ability to produce electricity directly from renewable materials. Pseudomonas sp, an iron bacterium has been known for its ability to convert chemical energy from mineral intto electrical voltage through MFC system. In this study, the performance of Pseudomonas sp was evaluated after being treated with several doses of Gamma ray. Gamma ray, which is a strong ionizing agent can result in the damage of DNA. Radiation doses from 0.1-1 KGy were exposed to bacterial cell suspension before regrown on agar media. The result showed that, the survival rate of bacteria was the lowest at the dose of 1 KGy and slightly higher at the dose of 0.8 KGy treatment. The survived isolates from each dose were then chosen randomly before electrical voltage evaluation in MFC system. Iron modified medium consisting of Sidoarjo mud, Urea, and FeCl3 was used for growing the mutant candidates. The chosen mutant isolate (dose 0.8 KGy) produced 1.353 V. The electrical voltage measurement of the chosen mutant and wild type were compared using MFC system during 5 days. The initial pH of modified medium was adjusted at 7. The result showed that there was no significant differences on electrical voltage production between the mutant and wild type isolate. This suggests that random mutation through Gamma irradiation on this iron bacterium (Pseudomonas sp.) seems to be instable. Further study needs to be conducted to find out the optimum radiation dose for this iron bacterium in order to obtain a higher electrical voltage.
------------------------------------------------------
International Conference And Exhibition-Science & Technology In Biomass Production: Optimizing University-Industry Collaboration, ITB Bandung, 25-26 November 2009